KETIKA membicarakan sejarah Indramayu, seringkali zaman pendudukan Jepang pada kurun waktu 1942-1945 kurang mendapat porsi perhatian.
Pembahasan sejarah Indramayu seakan-akan lebih afdol mengarah pada masa Wiralodra dengan latar politik Kerajaan Mataram (mulai abad-17) dari Sultan Agung, Amangkurat I, hingga Amangkurat II atau juga masa VOC hingga kolonial Belanda.
Padahal, dalam perspektif sejarah pendudukan Jepang di Indonesia, daerah Indramayu termasuk penting.
Pertama, dari tiga tempat pendaratan Jepang di Pulau Jawa, salah satunya di Eretan (Kec. Kandanghaur), 1 Maret 1942.
Kedua, ketika penjajah Jepang menerapkan program “wajib serah padi” tahun 1944, terjadi perlawanan rakyat Indramayu, khususnya petani secara spontan dan sporadis.
Tercatat beberapa desa melawan, antara lain di Kaplongan, Sindang, Lohbener, Bugis Anjatan, Cidempet, Arahan, Pranggong, Sukasari, Panyindangan Kulon, Penyingkiran, Cangkring, Cantigi, Cemara, Tugu, Gadingan, Sliyeg, Babadan Tenajar, Bolon, Jambe, Kliwed.
Dampaknya, pemerintah penjajah Jepang mencopot Bupati R.T.A. Moh. Sediono dan menggantinya dengan sosok yang baru, dr. Moerdjani, pada Agustus 1944.a
“Tanpa terasa saya menemukan adanya ‘wong-wong Dermayu’ yang berani, gigih, dan militan melawan penindasan,” lirih Penulis Buku, Supali Kasim.
Malam ini, Selasa (13/5/2025) pukul 19.30 di halaman gedung Landraad alun-alun Indramayu, Rama Prambudhi Dikimara akan membahas buku “Zaman Jepang 1942-1945 di Indramayu”. (Red/FP)