JAKARTA,(Fokuspantura.com),- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menggelar pertemuan nasional dan Kongres Luar Biasa FSGI ke-IV, dihadiri puluhan organisasi Serikat Guru Indonesia (SGI), yang bernaung di bawah FSGI dari berbagai daerah di Indonesia pada 23-25 November 2017 di Jakarta. Dalam pertemuan nasional tersebut, FSGI memberikan refleksi dan catatan korektif pada momentum peringatan Hari Guru Nasional tahun 2017.
“FSGI mengkritisi sedikitnya ada 5 (lima) masalah pokok tentang tata pengelolaan guru yang dipotret oleh FSGI selama ini yang terjadi di Indonesia. Khususnya terkait perpindahan kewenangan pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kota/kabupaten ke pemerintah provinsi,” ujar Heru Purnomo, Sekjen FSGI terpilih dalam Munaslub.
Menurutnya, peralihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kab/kota ke Pemerintah Provinsi berakibat pada nasib guru honorer, dimana mereka (honorer red) tidak mendapatkan kepastian terkait hak-hak dan kesejahteraan, khususnya terkait sistem penggajian. Seperti yang terjadi SMAN 9 Kota Bengkulu dan beberapa SMA/SMK didaerah lain.
Senada, Presidium FSGI, Fahmi Hatib, mengungkapkan para kepala sekolah juga belum kunjung mendapatkan SK dari Gubernur. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Sumatera Utara dan NTB. Sehingga para kepala sekolah juga tidak berani mengambil keputusan-keputusan strategis. Tanpa SK bahkan Kepsek juga rawan diganti secara sewenang-wenang.
Di beberapa provinsi ada Surat Edaran Gubernur yang isinya memberikan kesempatan kepada sekolah dan Komite Sekolah untuk menarik iuran/SPP kepada orang tua peserta didik. Dengan alasan bahwa uang tersebut digunakan untuk menggaji para guru honorer, yang penggajiannya tidak terpenuhi melalui 15% alokasi dana BOS.
“Selama ini, Para Kepala Daerah Provinsi cenderung beralasan, SK pengangkatann guru honorer tersebut bukan oleh gubernur melainkan oleh kepala sekolah,” ujar Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI yang juga guru di Sumatera Utara.
Ia menuturkan pada umumnya, kasus-kasus itu setiap provinsi tidak memiliki kebijakan yang seragam karena otonomi daerah, contoh kasus di Batam, Indramayu dan NTB.
“Tentu pungutan-pungutan serupa ini akan menambah beban bagi orang tua peserta didik. Padahal dalam UUD 1945 sudah semestinya negara yang menanggung pembiayaan pendidikan tersebut,”tuturnya.
Untuk program PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) bagi para guru yang mensyaratkan kelulusan bagi para guru peserta PLPG dengan nilai minimum 80. Kebijakan ini dirasakan sangat memberatkan para guru.
“Sebab berkaca kepada hasil nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional pun raihan perolehan nilainya juga sangat rendah antara 40-50,” ujar Satriwan Salim, Wakil Sekjen FSGI yang juga guru swasta di Jakarta.
Selanjutnya, fenomena pelibatan dan mobilisasi guru (termasuk kepala sekolah) untuk kepentingan politik Pilkada di daerah. Memasuki tahun-tahun politik ke depan guru mesti profesional dalam bertugas dan jangan mau dimobilisasi untuk politik praktis.
Oleh karena itu FSGI memandang perlu memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk menjawab 5 persoalan pokok guru di atas, yakni:
1.Mendorong KemenPAN-RB untuk segera menyetuji sekitar 250 guru dengan sistem pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) yang diusulkan oleh Kemdikbud
2.Mendesak para gubernur seluruh Indonesia untuk segera membuat SK pengangkatan Kepsek SMAN/SMKN sehingga bisa menjalankan tugasnya
3.Dalam rangka memenuhi wajib belajar 12 tahun, maka sudah semestinya disertai tanggungjawab negara dalam membiayai pendidikan, seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Sehingga tidak terjadi pungutan-pungutan yang membebani orang tua
4.Mendesak Gubernur seluruh Indonesia untuk segera membayar gaji guru honorer daerah yang tertunda. Agar para guru memeroleh hak-haknya.
5.Syarat nilai kelulusan PLPG sebaiknya lebih realistis sesuai dengan kemampuan guru secara nasional
6.Untuk rekrutmen kepala sekolah mesti transparan dan akuntabel dengan model lelang jabatan dengan sistem terbuka