OpiniFokus RembuganSiklus Setengah Abad Pers Nasional

Siklus Setengah Abad Pers Nasional

MEMASUKI dasawarsa kedua pasca reformasi, perkembangan industri media cetak di Tanah Air tampaknya masih belum ajek. Di satu sisi ada banyak media cetak baru yang lahir, namun di sisi lain tidak sedikit pula perusahaan pers yang sakit, koma, bahkan tutup usia.
Media Care mencatat, ada lebih dari 1.300 penerbitan di seluruh provinsi di Indonesia yang terpaksa gulung tikar dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Selain tidak mampu bersaing dengan media online, bergugurannya perusahaan-perusahaan pers juga akibat harga kertas yang terus meroket. Survei Nielsen juga merilis kabar yang tidak mengenakkan bagi kalangan industri surat kabar. Pada semester awal 2015 misalnya, Nielsen menyebut belanja iklan yang diterima media cetak baik koran, majalah, maupun tabloid, hanya sekitar 28,2 persen atau setara Rp16,12 triliun dari total kue iklan nasional.
Lesunya bisnis media cetak dewasa ini boleh jadi disebabkan oleh dua hal. Pertama, terkait dengan penjualan smartphone yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sejak awal kemunculannnya di 2007, pasar smartphone Android terus menunjukkan tren positif. Bahkan kabarnya, pada 2015 lalu angka penjualan smartphone Android meningkat tajam menjadi 1,2 miliar unit dari sebelumnya hanya 220 juta unit pada 2011. Angka tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduk bumi ini telah memanfaatkan ponsel dengan sistem operasi yang canggih itu sebagai kebutuhan informasi utama mereka.
Jika melihat data tersebut, mungkin ada benarnya ramalan Bill Gates yang sempat kontroversial di tahun 90-an. Saat itu, Gates meramalkan umur surat kabar hanya akan bertahan sekitar satu dekade saja. Gates bahkan dengan sangat yakin di masa depan tidak ada lagi buku, majalah, dan surat kabar yang dicetak seperti sekarang ini. Semuanya akan tampil secara digital melalui sebuah alat berbentuk tablet. Ramalan Gates memang belum sepenuhnya terbukti hingga memasuki abad ke-21 ini. Tapi paling tidak, Gates telah memberikan sinyal bahwa kelangsungan media cetak benar-benar sedang dalam ancaman serius.
Kedua, terpuruknya industri persuratkabaran belakangan ini juga sangat mungkin sebagai akibat dari dampak pelemahan perekonomian nasional sepanjang dua tahun terakhir. Tidak sedikit perusahaan yang terpaksa mengeluarkan kebijakan untuk memotong anggaran iklan dan promosi sebagai upaya penyelamatan keuangan perusahaan. Imbasnya, industri media massa harus gigit jari. Tidak sedikit pula perusahaan media cetak kawakan yang kelimpungan dan memilih pamitan dari kancah penerbitan.
Executive Director Head of Media Business Nielsen Indonesia, Hellen Katherina seperti diberitakan Kompas.com menyebutkan, pertumbuhan belanja iklan masih disokong dari media televisi yang menyumbangkan Rp103,8 triliun atau 77 persen dari total belanja iklan. Sementara untuk media cetak mengalami penurunan signifikan. Pada 2016 lalu, belanja iklan di koran mencapai Rp29,4 triliun atau 22 persen dari total keseluruhan. Sedangkan belanja iklan di majalah hanya menyumbang 1 persen atau Rp1,6 triliun dari total keseluruhan.
Di lain pihak, kawan-kawan jurnalis cetak tetap optimistis jika surat kabar masih diberi umur panjang. Mereka sependapat dengan teori Wolfgang Riepl yang menyebut media baru (online) bukan sebagai pengganti atau subsitusi media lama, melainkan tambahan atau kumulatif. Bicara teknologinya, mungkin media online lebih simpel dan praktis. Tapi, dari aspek jurnalistiknya media online masih harus bekerja keras untuk dapat menyajikan berita-berita yang akurat. Kecepatan dan ketepatan menjadi harga mati bagi media online. Intinya, media cetak dan media online sebetulnya saling melengkapi, saling membutuhkan, dan saling menghidupi, bukan untuk saling “membunuh”.
Mengutip pernyataan John McManus (1994) dalam Market Driven Journalism, surat kabar atau televisi hanya akan dapat bertahan hidup jika isinya dapat diterima pasar atau bernilai jual tinggi. Berita atau laporan mengenai fakta yang bernilai jual tinggi tentu juga akan menarik bagi investor atau pedagang saham. Inilah yang disebut dengan pendekatan pasar atau kendali pasar (market driven journalism). Di sisi lain, disebut dengan pendekatan professional driven journalism. Jurnalisme dengan kendali profesional hanya tunduk pada kaidah-kaidah dan norma jurnalistik yang berlaku umum. Dalam ranah profesional, ukuran nilai sebuah laporan fakta atau berita sangat dipengaruhi idealisme kewartawanan serta etika profesinya dan teori jurnalistik yang pernah diperolehnya.
Sebagai praktisi media, saya juga yakin nasib media cetak ke depan masih sangat prospektif. Kita bisa ciptakan banyak peluang di luar sana demi kehidupan pers yang lebih baik. “If opportunity does not come to you, then create it”. Jadi, kalau sekarang pers kita sedang sakit bukan berarti esok lusa akan mati. Hanya perlu sungguh-sungguh mencari dan menemukan penawarnya saja. Kalau pun harus mati, setidaknya bukan untuk hari ini. Jika siklus setengah abad ini benar adanya, maka saya sependapat dengan prediksi Philip Meyer dalam Vanishing Newspaper yang menyatakan bahwa media cetak akan benar-benar mati pada 2043 mendatang.
Sejarah mencatat, pada awal abad ke-20 (1901), pers nasional kita sempat berada di puncak kejayaannya. Ada ratusan media cetak yang terbit dihampir setiap kota. Tokoh-tokoh pers Hindia Belanda yang terkenal pada waktu itu antara lain, Mas Tirto, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, G. Francis, Soewardi Soerjadiningrat, terHaar, Mas Marco, dan Kwee Kek Beng.
Masa kejayaan pers Indonesia masih dirasakan hingga tahun-tahun pertama pascaproklamasi kemerdekaan 1945 meski dengan suasana yang berbeda. Haris Sumadiria menyebut kondisi pers di masa ini seperti sedang menikmati bulan madu. Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan surat kabar baru. Pada masa ini, pers nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi mereka hanya pada bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Bagi pers saat itu, tidak ada tugas yang paling mulia kecuali mengibarkan merah putih setinggi-tingginya.
Namun apa yang terjadi setelahnya? Menjelang Pemilu pertama pada 1955, pers Indonesia mulai tergoda politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong partai politik. Dalam pandangan pengamat pers nasional kondisi ini disebut sebagai era pers partisan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi jubir partai politik yang didukungnya. Di era ini, pers Indonesia sudah terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para petinggi partai. Puncaknya, pada Dekrit Presiden 1 Juli 1959 pers nasional benar-benar dalam keadaan gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers ketika itu diwajibkan memiliki surat izin terbit (SIT).
Dalam buku “Jurnalistik Indonesia” karangan Haris Sumadiria dijelaskan bahwa kebebasan pers dalam dua dari tiga dasawarsa kekuasaan monolitik Orde Baru hanya lebih banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses yang sejalan dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 28 UUD 1945. Dalam dasawarsa ketiga kekuasaan Orde Baru, kisah sedih itu masih terus berlanjut. Pembatasan bahkan pemberedelan terhadap pers terus berlangsung. Inilah yang disebut sebagai era pers tiarap Orde Baru. Hanya dengan tiarap, dengan mengendap-endap layaknya perang gerilya, pers kita bisa tetap bertahan hidup. Kondisi ini terus berlangsung hingga memasuki dasawarsa keempat menjelang tumbangnya pemerintahan Orde Baru.
Setengah abad berlalu, masa gelap gulita perlahan mulai sirna. Era reformasi 1998 adalah momentum penting bagi kebangkitan dan kemerdekaan pers Indonesia. Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Hidup, menurut kaidah manajemen dan perusahaan sebagai lembaga ekonomi. Merdeka, menurut kaidah demokrasi, hak asasi manusia, dan tentu saja supremasi hukum. Ini sejalan dengan amanat Pasal 2 UU Pokok Pers No.40/1999 yang menyatakan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Secara kuantitatif, jumlah perusahaan penerbitan pers di Indonesia mengalami pertumbuhan sangat pesat di lima tahun pertama era reformasi. Dalam kurun ini setidaknya tercatat ada 600 perusahaan penerbitan pers baru, 50 di antaranya terdapat di Jawa Barat. Jumlah ini sama dengan jumlah perusahaan penerbitan pers lama di era Orde Baru. Harus diakui, hasrat dan minat masyarakat menerbitkan pers dalam lima tahun pertama masa reformasi bagai jamur di musim hujan. Bahkan pada tahun pertama-kedua masa reformasi, bisa disebut di setiap kota di Pulau Jawa setidaknya terdapat 10 perusahaan penerbitan pers baru dengan komposisi 70 persen terbit mingguan dan 30 persen terbit harian.(Dikharir Afnan )
ads

Baca Juga
Related

Paripurna Pidato Presiden Jokowi, Separoh Anggota Dewan Indramayu Tak Hadir

INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Sidang Paripurna Istimewa DPRD Indramayu pada agenda mendengarkan...

Polisi Berhasil Ringkus Pelaku Pembacokan di Toko Sampurna

INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Jajaran Satreskrim Polres Indramayu berhasil meringkus dan mengamankan...

Rohmin Dahuri; Indonesia Produsen Rumput Laut Terbesar di Dunia

JAKARTA,(Fokuspantura.com),- Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang...

Bibit Bersubsidi Dorong Pencapaian Target Ketahanan Pangan

PATROL,(Fokuspantura.com),– Menghadapi musim tanam gadu 2017, pemerintah kembali menggulirkan...
- Advertisement -

FokusUpdate

Popular

Mau copas berita, silahkan izin dulu
Mau copas berita, silahkan izin dulu