Oleh. : Adlan Daie *)
TERLALU DINI mengklaim diri atau memprediksi kemungkinan hasil Pilkada Indramayu 2020 sekarang, disaat kondisi Partai Golkar, partai rejim penguasa politik selama 20 tahun terakhir di dera konflik tajam dan krusial, sementara di satu pihak dan di pihak lain koalisi perubahan yang digagas dan dideklarasikan sejumlah partai (PKB, PDIP, DEMOKRAT, PKS, NASDEM, HANURA) pada tanggal 27 Februari 2020 silam, persis empat bulan lalu, mandek dan nyaris ambyar kecuali sekedar bergagah gagah diri dengan selfi selfi dan manuver manuver zig zag di ruang publik.
Keunggulan elektoral Daniel Muttaqin Syafiudin (DMS) di Lembaga Survey Indonesia (LSI) maupun keunggulan Nina Dai Bachtiar di survey Lembaga Kajian Politik Indonesia (LKPI) terlepas dari motif di belakang survey belum berpeluang apapun jika diandaikan maju dalam Pilkada 2020. Selain daya jangkau survey tidak mampu memprediksi berapa persen pemilih tidak datang ke TPS justru temuan survey di atas mayoritas mutlak pemilih (lebih 70 persen) masih dalam posisi rumpun pemilih tidak loyal dan belum menentukan pilihan. Artinya, bersifat dinamis dan fluktuatif.
Survey opini publik dan riset prilaku pemilih paling jauh ibarat GPS hanya berfungsi memandu jalannya kerja kerja politik elektoral dengan pilihan isu yang memantik secara marketable modal.dasar ketokohan kandidatnya menjadi variabel sangat penting. Kandidat bisa dipoles dengan pola branding elektoral di simpul simpul basis rumpun pemilih sepanjang potensi terdalam figur yang diusungnya tidak memiliki beban politik “bawaan” yang tak termaafkan di mata publik ditunjang pula oleh koalisi partai pengusung dengan basis ideologi massa yang kokoh dan kuat.
Karena itu, peta survey elektoral di atas sangat jauh dijadikan alat justifikasi peluang menang secara bombastis. Secara minimalis bacaan lain tentang kemungkinan siapa pemenang pilkada 2020 setidaknya dari sisi kerangka awal dapat merujuk data hasil pilkada tahun 2005, tahun 2010 dan tahun 2015 dengan meletakkan konstruksi bacaannya pada koalisi partai dan jumlah pasangan kontestannya.
Dari konstruksi di atas, sekali lagi, secara minimalis, dapat dibayangkan simulasinya :
Pertama, jika basis koalisi dasar partai pengusung adalah PKB dan PDIP, terlebih bersifat “head to head” atau maksimal tiga pasangan calon dengab variabel pasangan independen maka pasangan yang diusung PKB dan PDIP berpeluang menang. Basis elektoral kedua partai ini mewakili rumpun pemilih ideologis yang berbeda, saling melengkapi satu sama lain dan relatif taat mengikuti “arah kiblat” figur mana yang diusung koalisi partainya.
Partai Golkar dalam posisi konflik tajam seperti saat ini, figur pasangan siapa pun yang diusungnya sulit menghambat potensi kemenangan figur pasangan koalisi dasar PKB dan PDIP tersebut terlebih jika figur pasangan calon yang diusungnya secara personal kuat pengaruh dan basis rumpun sosialnya. Potret hasil pilkada 2015, lima tahun silam, dari sisi elemen koalisi dasarnya memberikan harapan atas konstruksi pilihan simulasi ini.
Kedua, jika PKB dan PDIP terpaksa membangun koalisi masing masing dalam pilkada 2020, potensi maksimalnya hanya mengantarkan pasangan calon ke kantor KPUD, tidak mengantarkan kemenangan ke pendopo (kantor bupat). Figur siapa pun yang diusung partai Golkar apakah DMS, Taufik Hjdayat atau Syaefudin dalam situasi konflik internal yang tajam sekalipun relatif akan memenangkan pilkada 2020 kecuali Tuhan mengirim sinyal tanda tanda “tsunami politik” dalam prosesnya.
Konstruksi simulasi kedua di atas, merujuk pada varian data Pilkada tahun 2005 dan tahun 2010 di mana PKB dan PDIP dalam poros koalisi berjalan sendiri sendiri dengan varian postur koalisi yang tidak bersifat tunggal. Dengan kata lain, hanya elemen koalisi dasar PKB dan PDIP opsi paling ideal untuk.membuka kemungkinan peluang menang dalam kontestasi pilkada 2020 saat partai Golkar cenderung masing masing blok konflik internalnya saling meniadakan satu sama lain.
Di luar kemungkinan teoritis tentang politik elektoral dan dinamika konstruksi koalisinya di atas satu hal harus disadari bahwa kontestasi politik bersifat elektoral mutlak membutuhkan kehadiran figur kepemimpinan yang kuat. Nelson Mandela dan Barack Obama telah membuktikan bahwa “sekumpulan domba sekalipun jika dipimpin singa sulit ditaklukkan dibanding sekumpulan singa dipimpiin domba”.
Pada akhirnya siapa pun pasangan pemenang kelak, mengutip diksi Agus Salim, tokoh pergerakan nasional bahwa “Leiden is lejden”, memimpin adalah jalan menderita, bukan jalan memburu kesenangan untuk sekedar berkuasa secara hedonis. Petuah ahli hikmah di bawah ini penting diingat bersama “Di tangan pemimpin yang baik bawahan yang culas bisa baik. Di tangan pemimpin culas bawahan yang bak baik bisa ikutan culas.”
Semoga bermanfaat.
*)Penulis adalah Pemerhati Politik Elektoral Indramayu.