OpiniFokus RembuganOligarki, Dinasti dan Keadaban Politik

Oligarki, Dinasti dan Keadaban Politik

mahpudinOleh : H. Mahpudin, SH., MM., M.Kn. *)

Proses penjaringan Bakal Calon Bupati Indramayu yang dilakukan oleh DPD Partai Golkar saat ini, telah memunculkan nama H. Danil Muttaqin Syafiudin dan Hilal Hilmawan yang merupakan anak dan ponakan dari H. Yance dan telah dinyatakan mengembalikan formulir Bacabup. Sepertinya hadirnya dua nama tersebut, “menggentarkan” para peserta lain, baik dari internal maupun ekternal Partai Golkar. Bahkan menimbulkan persepsi bahwa proses penjaringan ini hanya sekedar “akal-akalan” Partai Golkar yang dalam asumsi publik masih dalam kendali H. Yance, sehingga publik membaca bahwa ketika satu partai dalam kendali oligarki maka kecenderungannya adalah hadirnya dinasti politik. Walaupun argumentasi yang dibangun oleh Tim Penjaringan ataupun nanti hasilnya berupa rekomendasi DPP Partai Golkar adalah berdasarkan hasil survei independen, tetapi ketika yang muncul salah satu di antara dua nama tersebut, maka sikap publik akan skeptis dan mengkonfirmasi atas asumsi akal-akalannya.

Pada masyarakat Indramayu, persepsi terhadap dinasti politik H. Yance sudah menjadi perbincangan umum dari obrolan warung kopi pinggir jalan, di cafe, di tempat “tongkrongan” gaul, di media sosial facebook dan sosmed lainya sampai pada bisik-bisik tetangga. Perbincangan soal dinasti politik ini yang mengemuka adalah sisi negatifnya yang lebih mendominasi dari pada sisi positifnya. Mengikuti jejak atau diikutsertakannya anggota keluarga   ke dalam kancah politik sudah menjadi fenomena umum baik di Indonesia maupun luar negeri. Sebelum reformasi, Soeharto sempat menunjuk putrinya yaitu Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) menjadi menteri sosial. Suatu kondisi gerakan reformasi atas gejala KKN di masa itu. Justru ditiru dan menjadi gejala di seantero negeri setelah reformasi, sejumlah nama keluarga pun muncul di berbagai daerah, membentuk klan-klan dimana orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan meduduki berbagai posisi strategis baik di eksekutif maupun legislatif, di pusat maupun di daerah. Untuk sekedar menyebut data pada tahun tahun 2016 angka daerah yang melibatkan dinasti politik ada 65 daerah. Saat ini jumlahnya mungkin tidak berkurang jauh. (survei LIPI 2016).

Tidak masalah, selama mereka tidak korupsi, adil dan bisa memegang amanah, demikian yang muncul dalam benak pikiran para pendukung dinasti politik. Karena mereka mendapat keuntungan baik dalam jabatan birokrasi, posisi politik maupun sumber-sumber ekonomi. Namun apakah benar sebegitu renyah argumentasi itu dikemukakan ? Fakta menunjukan kasus-kasus korupsi yang terjadi di hampir setiap daerah di Republik ini melibatkan para kepala daerah karena sebab politik dinasti.

Naiknya Daniel Muttaqin Syafiudin di kancah politik lokal dan nasional sejak tahun 2009 – 2014 menjadi Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dan menjadi anggota DPR RI sejak 2014 – 2019 berlanjut ke priode sekarang 2019 – 2024 adalah lebih pada faktor bapaknya yaitu H. Yance. Dalam percakapan internal golkar, naiknya Daniel tidak melalui “tangga” sebagaimana lazimnya kader pada umumnya yang harus berpeluh bersama keringat dan cucuran air mata rakyat, tetapi dia naik melalui “lift” dengan jas dasi dan aroma parfum para selebriti. Jalur “lift” yang dinaiki Daniel, diikuti oleh sepupunya Hilal Hilmawan yang terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat priode sekarang 2019-2024. Demikian pula pemahaman publik terhadap bupatinya bahwa sejak H. Yance menjabat bupati dua priode sejak tahun 2000 dan diteruskan oleh istrinya Hj. Anna Sophanah dua periode terpilih adalah bentuk dari dinasti politik H. Yance.

Persepsi publik berbalik 180 derajat dan memberi apresiasi positif atas kearifan seorang ibu yang mundur menjadi bupati tanpa terpaan hujan dan angin atau badai politik, hanya berdalilkan kesetiaanya pada keluarga. Utamanya pada penyesalannya yang mendalam karena tidak bisa mengurus orang tuanya yang sakit sampai meninggal dunianya karena kesibukannya sebagai bupati. Empati, simpati dan apresiasi publik atas mundurnya Hj. Anna Sophanah sebagai bupati sungguh sangat luar biasa. Kearifan, keadaban dan moralitas politik menemukan sosoknya pada figur beliau. Bahwa pengabdian dan pengkhidmatan pada bangsa, negara dan rakyat tidak melulu harus jadi penguasa. Ketika kekuasaan itu berdampak buruk   (mudhorot) bagi dirinya dan keluarganya ia rela secara tulus ikhlas menanggalkan kekuasaannya itu. Suatu sikap politik yang patut diteladani oleh para aktor politik.

Pada konteks pilkada serentak tahun 2020 ini, dengan masuknya Daniel Muttaqin Syafiudin dalam proses penjaringan bakal calon bupati yang digelar oleh partai golkar. Publik menjadi bertanya-tanya. Pertanyaan publik ini dalam kajian Forum Group Discution terbatas, terkait sekurangnya pada tiga aspek yaitu :

Pertama, soal mundurnya Hj. Anna Sophanah. Keteladanan atas kearifan politik Ibu Anna menjadi dipertanyakan kevalidannya. Apakah memang original bentuk dari kearifan seorang ibu, atau justru karena “tekanan” sang suami sebagai langkah taktis strategi politik untuk mengambil simpati rakyat dan memberi jalan lapang bagi sang putra mahkota untuk menduduki jabatan bupati di priode 2020-2025. Pertanyaan ini layak diajukan manakala kita cermati regulasi terkait pilkada. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pada pasal 7 huruf r. berbunyi sebagai berikut : “ tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”.

Kedua, soal OTT KPK yang menjerat H. Supendi sebagai bupati yang menggantikan Ibu Anna Sophanah. Majunya Daniel dalam kontestasi pilkada saat ini justru mengkonfirmasi kebeneran asumsi bahwa H. Supendi sengaja dikorbankan (persepsi pada sebagian masyarakat wilayah Barat Indramayu dan para pendukungnya) untuk memberi jalan lapang bagi trah H. Yance menduduki jabatan bupati sekaligus melanjutkan hegemoni kekuasaanya dan dinasti politiknya di Indramayu sampai 30 (tiga puluh) tahun.

Ketiga, seandainya Daniel Muttaqin Syafiuddin yang mendapat rekomendasi DPP Partai Golkar sebagai calon bupati dengan siapapun paket pasangannya, karena keunggulannya pada semua komponen penilaian yang menjadi acuan tim penjaringan. Berhusnudzon bahwa rekomendasi tersebut hasil yang didasarkan pada asas obyektifitas sekalipun. Maka akan menjadi common enemy atau musuh bersama bagi pihak pihak di luar golkar. Bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi resistensi di kalangan internal golkar, setidaknya mesin partai akan stag dan berjalan di tempat karena akan menjadi beban berat bagi para kader.

Dari ketiga aspek tersebut, kiranya menjadi pemikiran dan bahan muhasabah utamanya bagi para elit dan pengambil keputusan di partai golkar baik daerah maupun pusat, untuk bersikap arif dan bijaksana. Kearifan dan kebijaksanaan diperlukan demi kemaslahatan umum bukan hanya bagi kepentingan golkar tapi kepentingan yang lebih luas yaitu maslahat bagi rakyat Indramayu. Bukan hanya memenuhi aspek formal, normatif dan prosedural semata, tetapi juga aspek KEADABAN POLITIK mesti menjadi bahan pertimbangan utama. Jangan hadirkan calon pemimpin yang menimbulkan kontroversi apalagi yang mungkin menjadi “mudhorot” bagi yang bersangkutan dan bagi rakyat Indramayu.

Dalam pandangan penulis, sebagai orang tua dan guru politik penulis, sesungguhnya dalam jiwa H. Yance bersemayam kearifan dan kebijaksanaan dalam setiap langkah politiknya. Majunya putra mahkota dan ponakannya pada pendaftaran bakal calon bupati tersebut adalah sebagai “politacal game” umpan bola. Adakah yang menangkap dan menggiring bola sampai gol atau justru sebaliknya mendapat resistensi (penolakan) atau hanya mendapat respon statis. H. Yance sangat paham terhadap momentum dan arah angin politik serta “tanda-tanda jaman”. Sebagai seorang Guru Politik lokal dan maestro atas orketrasi politik Indramayu tentu tidak akan mengorbankan sang putra mahkota dalam kancah politik kontestasi pilkada 2020 ini. Masih ada waktu bagi sang putra mahkota pada momentum gelaran pilkada priode berikutnya.

Semoga, Wallohu A’lam Bisy-syowab.

*) Penulis adalah Dosen Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM), Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Advokat PERADI dan Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Indramayu

ads

Baca Juga
Related

Banjir Dukungan, Paslon Sholawat Tak Ingin Takabur

INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Memasuki masa kampanye Pilkada Indramayu saat ini, dukungan...

Dishub Subang Bangun Shelter Angkot

SUBANG,(Fokuspantura.com),– Dinas Perhubungan Kabupaten Subang berencana membangun shelter atau...

Ihsan Mahfudz Nakhodai SMSI Indramayu

INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),-  Musyawarah Pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Perwakilan...

Gugus Tugas Klaim Pasien Positif Covid-19 Belum Final

INDRAMAYUU,(Fokuspantura com),- Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Kabupaten Indramayu,...
- Advertisement -

FokusUpdate

Popular

Mau copas berita, silahkan izin dulu
Mau copas berita, silahkan izin dulu