Oleh : Yahya Ansori *)
Sebelum Waduk Jatigede difungsikan warga Gabuswetan, Kroya, Gantar, Trisi, sebagian Haurgeulis setiap ada kunjungan pejabat selalu dijanjikan sebuah sistem tata air yang akan bisa mengairi seluruh sawah di wilayah kami. Ya Jatigede adalah jawaban atas problem kekeringan kami selama ini, problem musim tanam yang tidak menentu hanya mengandalkan hujan kapan tiba. Kami selalu dijanjikan dengan sebuah harapan yang begitu “gede” sebesar waduk Jatigede. Ketika Jokowi dengan tekad baja akan melanjutkan penyelesaian waduk Jatigede, mimpi sebuah irigasi teknis itupun kembali serasa mendekat, tiap pejabat dengan langkah memikat menjual mimpi itu dengan begitu lihai memprosakan gambaran kemakmuran, kepastian panen 2 kali setahun bahkan dimungkinkan bisa 3 kali, harga jual tanah yang kian melambung tinggi.
Waduk Jatigede yang progresnya sudah saya dengar sejak 1993, saat saya Praktek Kerja Lapangan di PLTA Parakankondang tersebut adalah waduk terbesar kedua di Indonesia. Waduk yang luasnya 4 Kecamatan tersebut, menenggelamkan 28 desa, sehingga karena luasnya tersebut sangat wajar jika kami berharap besar, dan jaraknya yang hanya 43 kilometer ke wilayah kami tentu bukanlah sebuah hal sangat realistis sebenarnya agar air bisa sampai ke sawah sawah wilayah Indramayu. Dalam peta Jatigede adalah sebuah garis lurus (garis lintang) sebuah pengandaian yang sangat mudah, tapi prakteknya itu hanyalah sebuah mimpi di siang bolong yang disajikan pejabat yang miskin gagasan dan ide, kemampuan mereka hanyalah sebatas propaganda tanpa visi dengan output ilusi.
Sejak 2017 waduk jatigede dioperasikan, kami yang di wilayah hilir Indramayu barat sebagai wilayah terdekat dengan waduk jatigede secara geografis tetap saja gigit jari. Ketika di wilayah timur berlimpah ruah air dari sungai cimanuk sebagai sumber dari waduk jatigede, kami di wilayah barat hanya mampu menonton dengan segudang tanda tanya, apakah mereka yang telah kami berikan hak atas kekuasaan, kebijakan, anggaran juga sama hanya sebatas mampu melihat ketimpangan?
Apakah ketimpangan soal hak atas pengelolaan air juga adalah sebuah kewajaran seperti halnya ketimpangan atas pendapatan? Yang kaya makin kaya makin kaya, yang miskin makin miskin seperti ditunjukkan dalam OTT Carsa dkk.
Atas kemungkinan gejala soal ketimpangan tersebut saya sudah sampaikan kepada Supendi yang kala itu Wakil Bupati dalam kampanye Pilkada 2015, kami usulkan agar ada infrastruktur irigasi dari Jatigede, agar bisa sampai ke wilayah kami. Dan hingga musim tanam 2020 dengan penuh kesabaran kami harus mengalami mundurnya musim tanam tahun ini. Ya kami harus terus bersabar dengan cara tanam tadah hujan, yang hanya berharap akan karunia Tuhan bukan pada mereka penguasa yang punya kebijakan, yang punya anggaran. Semoga saja mimpi kami punya irigasi bagi sawah sawah kami dapat terealisasi di masa yang akan datang. Kepada siapapun yang mendengar suara kami semoga bisa memperjuangkan itu agar terealisasi, Bukan membawa mimpi itu sampai bui.
*) Penulis adalah Wakil Sekretaris PCNU Indramayu