MAKKAH,(Fokuspantura.com),- Pelaksanaan Rukun Islam yang ke lima oleh jutaan umat muslim Indonesia sedikitnya menyimpan cerita dan manifestasi bagi semua, dimana panggilan tuhan itu menjadi renungan saat berada di tanah haram. Nurdin Rasyid (73) jamaah haji asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini baru saja usai umroh. Kain ihram masih membalut tubuhnya yang kurus dan mulai renta. Sejenak ia terdiam. Ujung kain ihramnya ia tarik untuk menyeka bulir-bulir keringat di dahinya. Sisa keringat itu membias menambah gurat-gurat ketuaan yang merambati wajahnya.
“Sebenarnya saya lelah,” bibirnya bergerak memulai pembicaraan. Matanya menerawang jauh.
“Namun karena niatan berhaji dan kerinduan pada Baitullah, saya kuatkan.” Ada getar suara yang menyiratkan kelelahan, ujarnya kepada Media Center Haji PPIH Arab Saudi kemarin.
“Tetapi saya sedih, serasa ada yang hilang,” katanya melanjutkan. Sejenak ia kembali terdiam. Wajahnya tertunduk lesu.
“Istri saya tidak bisa menyertai,” katanya terdengar setengah berbisik. “Allah lebih cepat memanggilnya dari musim haji … Istri saya meninggal bulan lalu.” Suaranya bergetar dan parau. Ada bening menggantung di pelupuk matanya.
Ia termasuk rombongan pertama yang datang dari Jeddah tanggal 30 Juli lalu.
“Saya bisa berhaji ya dari hasil bertani,” tutur Nurdin sambil mengangkat kepala. Ia mengaku mendaftar haji tahun 2011. “Uang dari hasil bertani itu yang saya kumpulkan. Kemudian saya mendaftar haji tahun 2011 bersama istri. Tapi istri saya tidak jadi berangkat. Padahal dia sudah ikut menasik,” ucapnya dengan suara tersendat. Matanya kian berkaca-kaca.
Dia sering merasa sedih bila teringat istri. Apalagi jika melihat rekan jemaah lain menggandeng istrinya. Nurdin seperti mau nangis. Ada yang kosong. Ia jadi sering menyendiri, terpisah dengan rekan-rekan rombongannya.
Sejurus lelaki renta itu terdiam dan kembali tertunduk. Mungkin sengaja menyembunyikan air mata yang menetes. Ia baru menegakkan kepala ketika ditanyakan soal sawahnya. “Saya punya sebidang tanah yang saya tanami padi. Tanah persawahan itu saya garap sendiri. Saya cangkul, saya pupuk dan siangi. Dari hasil panen itulah saya bisa mendaftar haji,” jawabnya sembari menjelaskan. Ada semangat yang tiba-tiba menyembul dan rasa bangga. Barangkali begitulah jiwa petani.
“Tapi sekarang saya sudah tua, sudah loyo. Tidak mampu lagi menggarap sawah,” aku Nurdin yang kini tinggal di Hotel Sura Manra’a, Distrik Syisya di Sektor 1 Makkah.
Meskipun masih suka menyendiri dan tarlihat murung, namun Nurdin merasa nyaman tinggal di hotel tersebut. “Saya senang tinggal di hotel ini. Fasilitasnya cukup baik. Pas saya baru datang juga langsung disambut jajaran panitia haji dan pengelola hotel. Disediakan makanan dan minuman juga. Mungkin itu agak menghibur saya,” katanya dengan wajah tampak mulai sumringah.
Lelaki yang sudah berusia senja itu tampak pasrah. Walaupun ia kini hidup sendiri, tapi tetap berusaha untuk menguatkan diri. Ia juga ingin agar bisa melaksanakan ibadah haji dan ibadah-ibadah lain selama di tanah suci dengan sebaik mungkin.
Perjuangan yang tidak ringan juga dialami Sri Sumaryo Atmojo. Ia pergi haji dengan kaki tertatih-tatih dan ditopang sebilah tongkat. Kerap juga ia mesti didorong menggunakan kursi roda. “Sudah tiga tahun kedua kaki saya didera sakit. Jadi kalau jalan menggunakan tongkat atau pakai kursi roda,” tutur bapak 69 tahun itu ketika ditemui Tim MCH PPIH.
Sumaryo sendiri tergabung dalam kloter 30 Kota Tangerang. Tempat pemondokannya terletak di sektor 1 Makkah. Ia mendaftar haji tahun 1999 bersama istri.
Pria pensiunan PNS yang beristrikan Endang Tuti Marlina itu, mengaku walaupun tidak mudah, tapi tetap berusaha tegar. “Ini kesempatan saya bisa berhaji, setelah saya menunggu selama bertahun-tahun. Sehingga saya berusaha agar bisa melaksanakan semua prosesi haji sebisa saya,” katanya bersemangat. Matanya yang bulat besar dan agak memerah menyiratkan semangat itu.
Sungguhpun begitu, ia merasa bersyukur, sebab banyak orang yang peduli dan mau membantunya. “Alhamdulillah, banyak orang yang peduli dan mau membantu saya. Malahan para petugas haji yang membantu seolah memperlakukan saya seperti kepada bapaknya sendiri,” kilahnya.
Lebih dari itu, yang membuatnya terharu, sering ia dibantu dinaikkan kursi roda tanpa dikenai bayaran. “Saya kerap dibantu orang naik kursi roda tanpa harus membayar. Juga saat saya di Masjidil Haram, saya sering naik kursi roda dan gratis. Padahal kalau bayar kan mahal, dan sampai didorong muter-muter cukup lama,” ceritanya lagi seraya berkali-kali mengucap syukur.
Sumaryo yang berputrakan 3 orang dan semuanya sudah lulus sarjana itu, berpesan agar para jemaah haji dan calon jemaah haji di tanah air tidak perlu berkecil hati dengan kondisi fisik yang dialami. Toh ia dengan kondisi fisik yang terbatas tetap bisa menjalankan ibadah haji. “Yakinlah nanti Allah dan orang-orang lain yang akan membantu. Yang penting kita tetap optimis dan berdoa,” katanya memberi motivasi.
Selain itu, ia pun berharap agar para jemaah haji Indonesia meningkatkan tali ukhuwah atau persaudaraan. Sebab hal itu amat dibutuhkan selama pelaksanaan ibadah haji, serta untuk menunjukkan rasa persatuan dan persaudaraan sesama umat Islam.