INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Penetapan Bupati Indramayu Supendi sebagai tersangka dugaan suap tujuh proyek infrastruktur jalan Dinas PUPR Indramayu oleh KPK diharapkan menjadi pintu masuk mengungkap kasus korupsi lain di Indramayu. Apalagi, bukan kali ini saja korupsi menjerat pejabat di daerah itu, masih lemahnya penindakan berbagai persoalan korupsi di daerah menyebabkan masyarakat memilih melaporkan dugaan tindak pidana korupsi ke KPK.
“Kasus dugaan korupsi Pak Supendi bisa jadi pintu masuk untuk kasus korupsi lainnya. KPK harus menelusuri ini,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiralodra Indramayu, Saefullah Yamin, Rabu (16/10/2019).
Bahkan yang menarik dari pengungkapan OTT Bupati Indramayu terjadi jelang pelaksnaan Pilkada Indramayu 2020 mendatang. Sosok Bupati Supendi yang merupakan Ketua DPD Partai Golkar Indramayu menjadi sorotan menarik dari berbagai kalangan termasuk para akademisi untuk mengukur sejauh mana korupsi di Indramayu bisa terungkap.
“Tidak saja jabatan Bupati yang diemban, tetapi Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Indramayu terkena OTT KPK,” terangnya.
Proporsi APBD Perubahan Indramayu tahun 2019 sebesar 4 Triliun itu, menempatkan anggaran Dinas PUPR Indramayu urutan tertinggi ke tiga setelah Disdik dan Dinkes Indramayu, mencapai Rp691,9 miliar terdiri dari belanja langsung untuk Dinas PUPR sebesar Rp31,6 miliar dan belanja tidak langsung sebesar Rp660,2 miliar.
Kasus yang menjerat Ketua DPD Partai Golkar Indramayu tertangkap tangan menerima suap dari Kontraktor CV Agung Resik Pratama untuk memuluskan 7 paket pekerjaan jalan sebesar Rp15 miliar, telah melancarkan komitmen fee 5-7 persen dari nilai proyek kepada Supendi berujung KPK memergoki menerima uang suap ratusan juta pada Senin(15/10/2019) di Desa Bongas. Selanjutnya, Supendi ditetapkan tersangka bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Indramayu Omarsyah, Kepala Bidang Jalan di Dinas PUPR Indramayu Wempy Triyono, dan pihak swasta Carsa.
Penetapan tersangka kepada Kepala Dinas dan Kabid PUPR Indramayu akankah dapat menyeret kasus – kasus dan prakter kotor mengarah pada indikasi korupsi pada pos anggaran pembangunan fisik lainnya di Dinas PUPR Indramayu. Tiga ruangan milik Kepala Dinas, Sekretaris dan Kabid PUPR Indramayu yang belum dilakukan penggeledahan lebih lanjut oleh KPK kiranya dapat menemukan bukti baru tentang dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pekerjaan lain, mengingat selama ini para pengguna jasa kontruksi baik yang tergabung bersama organisasi jasa kontruksi maupun tidak banyak mengeluh jika ingin memperoleh pekerjaan di Indramayu harus menyiapkan sejumlah uang.
“Ini sudah menjadi tradisi jika pengen mendapat kerjaan harus menyiapkan uang dulu, itupun kadang antriannya bisa dua tahun baru dapat kerjaan,” tutur sumber kontraktor yang dirahasiakan.
KPK menyita uang dengan total Rp 685 juta. Supendi diduga sering meminta sejumlah uang kepada Carsa yang diduga dimulai sejak bulan Mei 2019 sejumlah Rp 100 juta.
“Efek dari kasus ini bisa ke kiri dan ke kanan,” lanjut Saefullah. Oleh karena itu, KPK diminta terus melanjutkan penyidikannya.
Apalagi, dugaan korupsi yang melibatkan pejabat Indramayu bukan kali ini saja. Sebelumnya, katanya, ada kasus Rohadi yang diduga memberikan mobil Pajero kepada Anna Sophanah, Bupati Indramayu sebelumnya. Rohadi merupakan mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang jadi tersangka tindak pidana pencucian uang.
Pada 20 September 2016, Anna sempat dimintai keterangan KPK terkait kasus itu. Mobil itu diduga diberikan Rohadi kepada Anna untuk memudahkan pengurusan perizinan Rumah Sakit Reysa, milik Rohadi, bahkan Kamis(17/10/2019)besok, Rohadi akan menjalani sidang Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 77/PID.SUS/TPK/2018/Pn.Jkt.pst tanggal 8 Desember 2016 atas nama terpidana Rohadi di PN Jakarta Pusat.
Sementara itu, Direktur Visi Integritas, Ade Irawan mengatakan, Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap Bupati Indramayu Supendi dan sejumlah pejabat Dinas Pekerjaan Umum Senin malam – Selasa dini hari (15/9/2019) menambah panjang deretan kasus korupsi di sektor infrastruktur.
sektor ini memang paling rawan korupsi ketimbang sektor lain seperti pertanian dan pendidikan. Selain anggaran jumbo, pengadaan barang dan jasa dalam proyek infrastruktur yang minim pengawasan menjadi pangkal masalah korupsi di Kementerian PUPR maupun Dinas PU.
“Dari mulai penganggaran, dilanjutkan pas proses tender, biasanya akan formalitas, Karena pemenang sudah ditentukan sebelumnya. Lalu pas implementasi proyek, maka proyek dikorupsi. Cara umum mark up, spesifikasi barang dibuat rendah,” ucap Ade seperti dilansir Tirto.id, Selasa (15/10/2019).
Korupsi di sektor ini, menurut dia, juga merugikan negara dua kali lipat. Pertama karena kualitas proyek bisa turun akibat adanya kongkalikong dalam kontrak pembangunan; dan kedua hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Pada taraf tertentu ini membuat orang enggan menyetorkan pajaknya ke negara,” imbuh mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut.
Tren kerugian negara dari korupsi infrastruktur juga cenderung meningkat seiring dengan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah pusat dan daerah. Pada 2016-2017 misalnya, kerugian akibat korupsi proyek infrastruktur meningkat dari Rp680 miliar menjadi Rp1,7 triliun dengan nilai suap Rp34 miliar.