Stigma RCTI di Indramayu Belum Hilang

banner 120x600

RANGDA Cilik Turunan Indramayu atau disingkat RCTI, sejak tahun 2014 silam sempat menjadi tren negatif Kabupaten Indramayu dan hingga kini stigma RCTI tersebut masih belum hilang dari identitas daerah pensuplai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terbesar di Jawa Barat (Baca : https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2020/09/23/indramayu-penyumbang-tki-terbanyak-ke-luar-negri-alasannya/ ), bahkan peningkatan suplai Pekerja Migran Indonesia (PMI) faktor utamanya adalah sulitnya menemukan lapangan pekerjaan dan rendahnya pendidikan masyarakat menyebabkan sepertiga atau setengah dari 22 ribu TKI masuk kategori ilegal.

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Kabupaten Indramayu, sempat membahas dalam suguhan Talk Show, dengan tema “Stigma Rangda Cilik Turunan Indramayu dan Kebijakan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Indramayu”, di Hotel Wiwi Perkasa 2 Indramayu, baru – baru ini.

Masalah penting dari gelaran acara dalam menyikapi Stigma RCTI tersebut mencuat jika sampai saat ini stigma Rangda Cilik Turunan Indramayu (RCTI) masih belum bisa dihilangkan sepenuhnya. UU tentang Perkawinan sudah merubah usia perkawinan. Kalau sebelumnya dalam UU No.1 Tahun 1974, usia perkawinan minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Sekarang dengan UU No.16 Tahun 2019, usia perkawinan minimal 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan.

“Selama perkawinan anak masih tinggi dan masih terus terjadi, maka angka perceraian akan tinggi. Dampaknya sudah tentu akan muncul RCTI-RCTI baru,” ungkap Sekretaris KPI Indramayu Yuyun Khaerunnisa.

Talk Show yang diikuti oleh perempuan pegiat sosial Indramayu ini diharapkan menjadi refleksi bagi kelangsungan proses edukasi kepada masyarakat tentang bahaya dan akibat dari perkawinan anak. Karena Stigma RCTI diawali dari faktor meningkatnya usia perkawinan muda, belum matang dalam menjalani kehidupan rumah tangga menyebabkan cerai usia muda pula.

“Salah satu akibat perkawinan anak adalah perceraian. Karena dari sisi usia mereka memang belum siap,” tegas Yuyun.

Menurut Yuyun, salah satu penyebab masih terjadinya perkawinan anak adalah karena sosialisasi tentang UU Perkawinan yang baru masih belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya masih banyak anak-anak dibawah usia 17 tahun yang melakukan perkawinan anak. Padahal sesuai undang-undang yang baru, sudah jelas kalau usia perkawinan minimal 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.

Pemkab Indramayu harus aktif menyikapi masalah ini, terutama mempersiapkan turunan UU No.16 Tahun 2019 dalam bentuk Perbup atau Perda (Peraturan Daerah). Bahkan akan lebih baik lagi kalau ada turunannya hingga ke tingkat desa dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes).

“Saya yakin kalau di daerah sudah ada turunannya, dan dilanjutkan dengan sosialisasi secara intensif, maka perkawinan anak bisa kita cegah,” tuturnya.

Ketua DPRD Indramayu, Syaefudin, mengatakan, stigma Rangda Cilik Turunan Indramayu  masih melekat. Namun fram daerah itu harus bisa dirubah menjadi Remaja Cerdas Turunan Indramayu, melalui upaya pencegahan perkawinan anak dan pembuatan regulasi dukungan

“Kita sebenarnya juga sudah memilii Perda Perlindungan Perempuan dan Anak serta Perda Kabupaten Layak Anak. Kalau memang perlu ada penyesuaian, kami dari DPRD siap memfasilitasi,” tegas Ketua Karang Taruna Kabupaten Indramayu ini.

Pada kesempatan itu juga diberikan penghargaan kepada Rasminah, perempuan asal Losarang Kabupaten Indramayu, yang telah ikut berjuang untuk mengubah aturan tentang usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Berkat perjuangan Rasminah dan kawan-kawan, akhirnya usia perkawinan bisa dituakan dari sebelumnya minimal 16 tahun untuk perempuan menjadi 19 tahun.

“Kita bangga dan mengapresiasi kepada perempuan Indramayu yang belah berhasil dalam memperjuangkan hak perempuan, terutama terkait masalah batas minimum usia perkawinan ini,” tuturnya.

Sebelumnya, Humas Pengadilan Agama Indramayu, Agus Gunawan, mengatakan, ironisnya pengajuan gugatan cerai itu banyak yang berasal dari pasangan muda. Rata-rata usia mereka 20 hingga 24 tahun.

Hal tersebuut yang membuat janda dan duda muda banyak ditemui di Indramayu.

“Selalu ada setiap hari pasangan muda yang bercerai, rata-rata usianya 20 sampai 24 tahun,” ujar Agus seperti dilansir Tribunjabarnews.com.

Agus tidak menampik, fenomena itu terjadi akibat pernikahan dini yang diminati masyarakat di Indramayu.

Sebagian besar dari mereka memanfaatkan batas usia menikah minimal yang ditetapkan pemerintah untuk segera menikah, yakni untuk laki-laki dan perempuan minimal berusia 19 tahun.

Kondisi itu juga diakui oleh Hakim Pengadilan Agama Negeri Kabupaten Indramayu, Engkung Kurniati Imron. Bahwa angka perceraian pada tahun 2018 mengalami kenaikan dari tahun 2017, faktor masalah ekonomi menjadi faktor utama dalam kasus perceraian di Kabupaten Indramayu, karena dinilai tidak memberikan nafkah kepada istri dan anak sehingga menimbulkan perselisihan dan pertengkaran di rumah tangga.

“Pertengahan 2018 ini baru 4.000 kasus perceraian, mungkin nanti akhir 2018 bisa mencapai 9.000, tentu akan meningkat dari sebelumnya pada tahun 2017 yang hanya 8.120 kasus perceraian,”kayanya.

Wilayah Kabupaten Indramayu sejak dahulu terkenal dengan sebutan Rangda Cilik Turunan Indramayu (RCTI) artinya janda kecil keturunan orang Indramayu, Hal itulah yang saat ini masih dirasakan, karena rata-rata umur perceraian orang indramayu umur 23 tahun hingga 25 tahun.

“Sebutan RCTI masih terus terdengar sampai saat ini karena rata-rata orang perceraian di Indramayu itu umur 20 ke atas sampai 25, sangat kecil sekali, karena dibebankan pada ekonomi sehingga orang tua kepada anak dianjurkan untuk menikah dini,”tambahnya.

Sebagai upaya meminimalisir terjadinya angka perceraian yang semakin tinggi di Kabupaten Indramayu, Pengadilan Agama Negeri Indramayu selalu tidak lepas dari sosialisasi dalam memberikan arahan-arahan dalam rumah tangga pada proses pendaftaran pernikahan.

“Kita itu sebetulnya sudah memberikan arahan sebelum orang tersebut mendaftarkan diri untuk mengurus surat nikah, di situ kita memberikan sosialisasi bagaimana cara berumah tangga yang baik dan tanggung jawab agar kedepan tidak terjadi perselisihan sehingga tidak menimbulkan perceraian,”tambahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mau copas berita, silahkan izin dulu
Mau copas berita, silahkan izin dulu