JAKARTA,(Fokuspantura.com),- Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang Maritim, Prof Rohmin Dahuri mengungkapkan Indonesia saat ini layak berbangga diri, lantaran masuk kategori negara produsen rumput laut terbesar kedua di dunia, sebesar 34,6 persen, setelah China sebesar 50,1 persen. penegasan itu disampaikan berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) PBB tahun 2017, dalam acara Forum Pertemuan Discussion bersama Stakeholder, dengan tema Peluang Usaha Rumput Laut yang Berkelanjutan di Indonesia, di Gedung KADIN, Lantai 3, Kuningan, Senin(30/4/2018).
Di hadapan para stakeholder, Rokhmin mengatakan di tahun 2016 silam, Indonesia mampu mengekspor hasil rumput laut sebanyak 82,10 %, dengan jumlah 182,37 ribu ton ke negeri China.
Meski pernah mengalami masa kejayaan, Rokhmin yang merupakan Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) ini mengingatkan ada banyak tantangan yang harus dihadapi industri rumput laut kedepannya.
“Permasalahan dan tantangan industri rumput laut Indonesia cukup banyak, sebagian besar produksi budidaya rumput laut bergantung pada alam, harga jual rumput laut di tingkat pembudidaya sangat fluktuatif,” terang Rokhmin dalam forum diskusi tersebut.
Menurutnya, masalah lain yang dikeluhkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong Era Megawati Seokarno Putri ini adalah, minimnya jumlah dan kapasitas industri pengolahan rumput laut.
Ia menjelaskan, sebagian besar ekspor berupa bahan baku rumput laut kering, Euchema spp (84%), dan Gracillarua spp (38%).
“Selain itu, rendahnya kualitas SDM pembudidaya rumput laut, rantai pasok (supply chain) antara industri hulu dengan hilir yang terlalu panjang dan tidak efisien,” tambahnya.
Rokhmin pun mengakui, hampir keseluruhan industri hilir rumput laut saat ini masih terkonsentrasi di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya. Sedangkan konsentrasi industri hulu tersebar di Indonesia bagian timur.
“Masalah lainnya, kurangnya ketersediaan bibit yang baik, kondisi cuaca/ iklim yang tidak mendukung sepanjang waktu, tata ruang pemanfaatan wilayah perairan yang tumpang tindih, sulitnya akses ke sumber modal,” imbuh Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB ini.
Terkait