
KEBEBASAN PERS merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tidak memihak. Pers menjadi instrumen vital dalam menjaga transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi publik terhadap kebijakan pemerintah dan penegakan hukum di Indonesia. Namun demikian, dalam praktiknya, kebebasan pers sering kali dihadapkan pada persoalan hukum, terutama ketika produk jurnalistik dianggap melanggar norma-norma yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketentuan hukum dalam kedua instrumen tersebut acap kali digunakan untuk menjerat insan pers melalui pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik, penyebaran kebencian, maupun fitnah, yang pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kriminalisasi terhadap kegiatan jurnalistik yang sesungguhnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.[1]
Kajian terhadap problematika kebebasan pers dalam kaitannya dengan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah banyak dilakukan oleh berbagai akademisi dan peneliti hukum di Indonesia. Misalnya, penelitian oleh Nurul Huda (2020) dalam Jurnal Hukum dan Komunikasi Publik menyatakan bahwa ketentuan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik memiliki potensi multitafsir karena tidak adanya pembatasan yang jelas mengenai kategori pencemaran nama baik di ruang digital.[2] Penelitian lain oleh Siti Rohmah (2021) menekankan bahwa penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya Pasal 310 dan Pasal 311, seringkali tidak memperhatikan konteks kerja jurnalistik yang memiliki mekanisme etik tersendiri sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.[3] Namun demikian, kedua penelitian tersebut belum secara eksplisit menempatkan analisisnya dalam perspektif sosiologi hukum yang memandang hukum bukan sekadar teks normatif, melainkan juga sebagai realitas sosial yang hidup dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh struktur sosial, budaya, serta politik.[4]
Dalam konteks tersebut, kebaruan ilmiah (novelty) dari penelitian ini terletak pada pendekatan sosiologi hukum dalam menganalisis implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap kebebasan pers di Indonesia. Pendekatan ini berupaya mengungkap hubungan dialektis antara hukum sebagai norma tertulis dan hukum sebagai praktik sosial dalam konteks kerja jurnalistik, sehingga dapat ditemukan penyebab struktural terjadinya kriminalisasi terhadap insan pers.[5] Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya mengkaji aspek normatif dari pasal-pasal yang relevan, tetapi juga memahami bagaimana hukum bekerja dalam realitas sosial yang diwarnai oleh kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan.[6]
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana analisis yuridis pemidanaan terhadap insan pers melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia; kedua, bagaimana perlindungan terhadap insan pers atas kriminalisasi produk jurnalistik di Indonesia. Kedua pertanyaan ini menjadi dasar untuk memahami sejauh mana sistem hukum nasional telah mengakomodasi prinsip kebebasan pers dan keadilan sosial yang menjadi cita hukum bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis secara mendalam mekanisme penerapan hukum terhadap kasus-kasus yang melibatkan insan pers dalam konteks Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta untuk mengkaji bentuk perlindungan hukum yang seharusnya diberikan kepada insan pers agar kebebasan berekspresi tetap terjaga tanpa mengabaikan tanggung jawab etik profesi jurnalistik.[7] Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademik berupa rekomendasi model penegakan hukum yang lebih humanis, berkeadilan, dan kontekstual dengan prinsip demokrasi serta hak asasi manusia.[8]
Penelitian ini memiliki orisinalitas dalam pendekatannya yang menggabungkan aspek normatif dengan analisis sosiologis terhadap praktik hukum dalam ranah pers digital. Pendekatan ini menempatkan hukum bukan sebagai entitas yang statis, tetapi sebagai instrumen dinamis yang dipengaruhi oleh interaksi sosial dan kekuasaan. Dengan demikian, penelitian ini menawarkan perspektif baru dalam memahami problematika kebebasan pers di era digital, sekaligus memberikan landasan teoritis bagi penguatan sistem hukum yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia.[9]
STUDY LITERATURE / TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai kebebasan pers dan kriminalisasi jurnalis melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah banyak dilakukan oleh akademisi dan lembaga penelitian hukum. Namun, sebagian besar penelitian masih menyoroti aspek kriminalisasi pers secara deskriptif tanpa menawarkan solusi aktualisasi hukum yang bersifat normatif-progresif.
Penelitian oleh Ahmad Sofian (2019) Dalam jurnal Hukum dan Pembangunan berjudul “Problematika Kriminalisasi Pers dalam Perspektif Hukum Pidana”, Ahmad Sofian menjelaskan bahwa kriminalisasi terhadap pers terjadi karena lemahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap prinsip lex specialis derogat legi generali. Menurutnya, kasus sengketa pemberitaan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan dengan instrumen pidana umum. Sofian menilai masih terdapat kecenderungan aparat menggunakan KUHP atau UU ITE sebagai alat pembatas kebebasan berekspresi, yang mengakibatkan wartawan kehilangan perlindungan hukum sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kelebihan penelitian ini terletak pada analisis yuridisnya yang tajam terhadap praktik penegakan hukum, sedangkan kelemahannya adalah belum adanya solusi konkret untuk harmonisasi antar-peraturan perundang-undangan.
Penelitian kedua di lakukan oleh Ismail Hasani (2020) Dalam artikel berjudul “UU ITE dan Ancaman Kebebasan Berekspresi” yang diterbitkan oleh SETARA Institute, Ismail Hasani menyoroti pasal-pasal karet dalam UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2), yang sering digunakan untuk menjerat jurnalis atau aktivis media. Ia menyebut bahwa UU ITE menciptakan “efek gentar” (chilling effect) terhadap kebebasan berekspresi di ruang publik. Menurut Hasani, negara harus menata ulang regulasi hukum digital agar sejalan dengan prinsip hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Kelebihan penelitian ini adalah fokusnya pada perspektif hak asasi manusia dan demokrasi digital, sedangkan kelemahannya belum mengulas perbandingan antara UU ITE dan UU Pers secara normatif.
Penelitian Ketiga dilakukan oleh Ninik Rahayu (2021) Dalam jurnal RechtsVinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Ninik Rahayu menulis artikel berjudul “Kriminalisasi Wartawan dan Lemahnya Implementasi Undang-Undang Pers”. Ia menegaskan bahwa sebagian besar kasus kriminalisasi wartawan disebabkan oleh minimnya koordinasi antara aparat penegak hukum dan Dewan Pers. Rahayu juga menilai bahwa peraturan pelaksana Undang-Undang Pers belum memberikan pedoman teknis yang kuat dalam melindungi jurnalis di lapangan. Kelebihan penelitian ini adalah fokusnya pada aspek kelembagaan dan implementasi hukum, namun kelemahannya tidak membahas dimensi teoretis dan sosiologis hukum dalam konteks demokrasi.
Berdasarkan kajian di atas, penelitian ini memiliki posisi pembeda (research gap) yang jelas dibandingkan penelitian sebelumnya. Jika penelitian terdahulu cenderung bersifat deskriptif dan normatif mengenai kriminalisasi pers, maka penelitian ini berfokus pada aktualisasi hukum melalui harmonisasi antara UU Pers, UU ITE, dan KUHP dengan pendekatan hukum progresif dan sosiologi hukum. Selain itu, penelitian ini berupaya merumuskan model perlindungan hukum yang implementatif bagi insan pers, dengan menekankan pentingnya penerapan prinsip lex specialis derogat legi generali serta perlindungan konstitusional terhadap kebebasan berekspresi di era digital. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya memperkaya khazanah akademik tentang kebebasan pers, tetapi juga memberikan sumbangan praktis bagi pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, dan lembaga pers dalam menciptakan sistem hukum yang adil dan demokratis. Dalam rangka memperkuat analisis dan menemukan arah aktualisasi hukum yang ideal, penelitian ini menggunakan beberapa teori utama sebagai landasan konseptual, yaitu teori Demokrasi versi Robert A Dahl, Teori Kebebasan pers versi John Milton dan Versi John Stuart Mill, lalu tang terakhir Teori Hukum Progresif versi Satjipto Raharjo. Berikut ini penjelasan mengenai teori teori yang penulis jadikan pisau analisa di dalam penel;itian ini.
Di dalam Teori Demokrasi Menurut Robert A. Dahl, demokrasi mensyaratkan adanya akses informasi yang bebas dan transparan. Kebebasan pers merupakan pilar penting (the fourth estate) yang menjamin partisipasi rakyat dalam pengawasan kekuasaan. Tanpa kebebasan pers, demokrasi kehilangan mekanisme kontrol sosialnya. Oleh karena itu, segala bentuk pembatasan terhadap pers harus ditafsirkan secara ketat dan proporsional. Namun di samping itu terdapat Teori Kebebasan Pers (Freedom of the Press Theory) yang lahir dari pemikiran klasik John Milton dan John Stuart Mill, yang menegaskan bahwa kebenaran hanya dapat ditemukan melalui kebebasan mengemukakan pendapat. Dalam konteks hukum modern, teori ini mengajarkan bahwa pers memiliki tanggung jawab etik, tetapi tidak boleh dikekang oleh kekuasaan negara, karena fungsi pers bukan hanya sebagai penyampai berita, melainkan juga pengontrol kekuasaan. Dan yang terakhir Satjipto Rahardjo daalm teori Hukum Progresif mengemukakan bahwa hukum tidak boleh dipahami sebagai seperangkat aturan kaku, melainkan sebagai instrumen dinamis untuk mencapai keadilan substantif. Dalam konteks kriminalisasi pers, teori ini menekankan bahwa aparat penegak hukum harus melihat tujuan hukum (teleologis) dan keadilan sosial, bukan sekadar teks hukum formal.
RESEARCH METHOD / METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif (legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan menganalisis norma hukum tertulis seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, doktrin, serta pandangan para ahli hukum. Fokus utama penelitian ini adalah untuk mengkaji secara yuridis dan sosiologis hubungan, tumpang tindih, dan potensi pertentangan antara ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap implementasi kebebasan pers di Indonesia. Pendekatan penelitian yang digunakan mencakup tiga jenis pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), dengan menelaah berbagai ketentuan hukum yang relevan; pendekatan konseptual (conceptual approach), dengan menganalisis teori-teori hukum, asas hukum, dan doktrin yang berkaitan dengan kebebasan pers dan pemidanaan terhadap jurnalis; serta pendekatan kasus (case approach), melalui pengkajian kasus-kasus nyata seperti kasus jurnalis Muhammad Asrul yang dikriminalisasi atas pemberitaannya terkait dugaan korupsi di Sulawesi Selatan, serta kasus pelaporan terhadap media oleh pejabat publik dengan dalih pencemaran nama baik.
CONCLUSION / HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebebasan pers merupakan salah satu fondasi utama dalam sistem demokrasi yang menjamin keterbukaan informasi, pengawasan terhadap kekuasaan, dan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Namun dalam praktiknya, kebebasan ini sering berbenturan dengan instrumen hukum seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sering digunakan untuk menjerat jurnalis dengan pasal-pasal karet, seperti pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong. Berdasarkan perspektif teori Rule of Law yang dikemukakan oleh Albert Venn Dicey dan dikembangkan oleh Jimly Asshiddiqie, negara hukum seharusnya menjamin perlindungan terhadap hak-hak dasar warga, termasuk kebebasan berekspresi.[10] Prinsip supremasi hukum dan persamaan di hadapan hukum justru dilanggar ketika aparat menggunakan hukum secara represif terhadap insan pers. Dalam konteks sosiologi hukum, fenomena ini menunjukkan adanya distorsi fungsi hukum dari sarana keadilan menjadi alat kontrol kekuasaan yang membungkam kritik sosial.
John Stuart Mill melalui teorinya tentang freedom of expression dalam karya On Liberty menegaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah syarat mutlak bagi kemajuan intelektual dan moral masyarakat.[11] Dalam konteks kebebasan pers, pandangan ini menolak pembatasan pendapat kecuali apabila ekspresi tersebut menimbulkan kerugian nyata bagi orang lain (harm principle). Namun, dalam praktik hukum Indonesia, pasal-pasal karet UU ITE kerap digunakan untuk membatasi karya jurnalistik yang justru berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap penyimpangan kekuasaan. Hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang menekankan pentingnya ruang publik terbuka untuk menguji kebenaran melalui perdebatan rasional. Dalam perspektif sosiologis, pemidanaan terhadap jurnalis tidak hanya mengancam individu, tetapi juga melemahkan kapasitas masyarakat dalam menemukan kebenaran sosial. Dengan demikian, implementasi hukum yang menjerat pers mencerminkan penyalahgunaan hukum untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan, bukan untuk menegakkan keadilan sosial.
Selanjutnya, teori hukum progresif Satjipto Rahardjo menawarkan pendekatan alternatif terhadap problematika ini dengan menempatkan hukum sebagai sarana kemanusiaan yang dinamis dan berorientasi pada keadilan substantif, bukan sekadar teks normatif.[12] Prinsip “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” menekankan bahwa penerapan hukum harus mempertimbangkan nilai sosial dan moral di baliknya. Dalam konteks kriminalisasi pers, pendekatan progresif mendorong hakim, jaksa, dan aparat hukum untuk menafsirkan norma hukum secara kontekstual dan manusiawi, bukan secara kaku dan legalistik. Dengan menekankan pentingnya social justice dan public interest, teori hukum progresif menolak penegakan hukum yang menindas kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, penegak hukum seharusnya berani menolak penggunaan pasal-pasal represif ketika digunakan untuk membungkam media, serta menjadikan hukum sebagai alat untuk menjaga keseimbangan antara kepastian dan keadilan sosial.
Dari perspektif teori tanggung jawab sosial pers yang dikembangkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel, kebebasan pers harus diimbangi dengan kesadaran etis terhadap dampak sosial dari informasi yang disebarkan[13] Teori ini menegaskan bahwa kebebasan tidak boleh dijalankan tanpa tanggung jawab, karena media memiliki kewajiban moral untuk menyampaikan berita yang akurat, proporsional, dan bermanfaat bagi publik. Dalam kaitannya dengan UU ITE dan KUHP, prinsip tanggung jawab sosial menuntut adanya keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan hukum yang adil. Negara harus menjamin agar pemidanaan hanya dilakukan terhadap pelanggaran yang serius, bukan terhadap kritik atau liputan investigatif yang bertujuan melindungi kepentingan publik. Sayangnya, praktik hukum di Indonesia masih menunjukkan kecenderungan kriminalisasi jurnalis tanpa mempertimbangkan mekanisme etik Dewan Pers sebagai lembaga penyelesaian sengketa jurnalistik. Hal ini mengindikasikan lemahnya penghargaan terhadap tanggung jawab sosial pers dan peran media sebagai forum publik demokratis.
Secara keseluruhan, integrasi antara teori Rule of Law, Freedom of Expression, Hukum Progresif, dan Tanggung Jawab Sosial Pers memberikan kerangka komprehensif dalam memahami problematika kebebasan pers di Indonesia.[14] Perspektif sosiologi hukum menyoroti bahwa penyimpangan penerapan hukum terhadap insan pers merupakan gejala instrumentalization of law, yakni ketika hukum dijadikan alat kekuasaan untuk mengontrol opini publik. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan mencakup harmonisasi regulasi antara UU ITE, KUHP, dan UU Pers agar lebih berpihak pada perlindungan hak konstitusional atas kebebasan berekspresi. Selain itu, diperlukan penguatan peran Dewan Pers dan pendekatan penegakan hukum yang progresif, agar pers dapat menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi tanpa ancaman kriminalisasi. Dengan demikian, kebebasan pers tidak hanya dipertahankan secara formal dalam konstitusi, tetapi juga diwujudkan secara substantif dalam praktik penegakan hukum yang adil, manusiawi, dan demokratis.
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali menyatakan bahwa aturan hukum yang bersifat khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum ketika keduanya mengatur hal yang sama.[15] Dalam konteks kebebasan pers di Indonesia, asas ini sangat relevan karena terdapat situasi di mana regulasi umum seperti hukum pidana umum (KUHP) bersinggungan dengan regulasi khusus seperti undang-undang yang mengatur transaksi elektronik dan ruang digital (UU ITE) yang lebih rinci mengatur aktivitas publikasi melalui media daring. Asas ini memberikan kerangka normatif untuk menilai apakah insan pers yang menjalankan fungsi kontrol sosial melalui publikasi digital patut dikenakan ketentuan umum atau ketentuan khusus yang lebih tepat secara substantif.
Dalam praktik pemidanaan terhadap insan pers, penerapan asas Lex Specialis melibatkan pertimbangan apakah tindakan jurnalistik yang dipersoalkan lebih tepat diproses melalui hukum pers atau mekanisme pidana umum. Bila konten jurnalistik dipublikasikan daring dan diatur secara khusus oleh regulasi digital, maka asas ini mengarah pada penggunaan regulasi khusus sebagai dasar tindakan hukum, bukan sekadar hukum umum yang mungkin kurang sesuai dengan karakter media dan kebebasan berekspresi. Penelitian empiris menunjukkan bahwa inovasi asas ini dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum konsisten diterapkan, sehingga masih ditemukan aparat penegak hukum yang memilih ketentuan umum padahal regulasi khusus tersedia.[16] Hal ini berdampak pada ketidakpastian hukum dan potensial penanganan yang tidak proporsional terhadap insan pers.
Dari perspektif sosiologi hukum, penerapan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali penting untuk menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan kebebasan pers sebagai pilar demokrasi. Dengan menempatkan regulasi khusus yang dirancang untuk konteks media digital sebagai norma utama dalam kasus pers, maka negara dapat tetap melakukan regulasi terhadap publikasi daring tanpa membebani fungsi kontrol sosial pers. Namun kelemahannya muncul bila asas ini diabaikan atau diterapkan secara selektif: aparat penegak hukum dapat menjatuhkan sanksi pidana melalui regulasi umum terhadap karya jurnalistik yang seharusnya dilindungi, dan ini justru menghambat kebebasan pers serta menimbulkan efek gentar (chilling effect) terhadap media.[17] Oleh karena itu, penerapan konsisten atas asas ini menjadi salah satu jalan strategis untuk mencegah kriminalisasi pers yang berlebihan tanpa mengabaikan kewajiban tanggung jawab jurnalistik.
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sering kali menjadi dasar hukum bagi aparat penegak hukum untuk menjerat insan pers dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui media elektronik. Pasal ini pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi kehormatan dan nama baik individu di dunia digital, namun dalam praktiknya sering disalahgunakan untuk membungkam kritik publik yang disampaikan oleh jurnalis. Dalam konteks kebebasan pers, penerapan pasal ini menimbulkan problem yuridis karena kriteria pencemaran nama baik di ranah siber tidak selalu sejalan dengan prinsip kerja jurnalistik yang berlandaskan pada kepentingan publik..[18]
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik secara normatif bertujuan mencegah penyebaran informasi yang mengandung ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Namun, dalam praktik penegakannya, pasal ini juga kerap digunakan secara tidak proporsional terhadap jurnalis atau media yang mengangkat isu-isu sensitif, seperti ketimpangan sosial, diskriminasi, atau pelanggaran oleh aparat negara. Pendekatan hukum yang kaku dalam menafsirkan unsur “menimbulkan kebencian” sering kali mengabaikan peran pers sebagai pilar demokrasi yang berhak mengkritisi kebijakan publik. Dalam konteks sosiologi hukum, penerapan pasal ini perlu dipahami secara lebih kontekstual, yakni dengan melihat bagaimana struktur kekuasaan memengaruhi persepsi terhadap ujaran kebencian..[19]
Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan ketentuan klasik yang mengatur tentang pencemaran nama baik. Dalam konteks sejarahnya, pasal ini dirancang untuk melindungi kehormatan pribadi dari penghinaan di ruang publik. Akan tetapi, ketika diterapkan terhadap produk jurnalistik, ketentuan ini menimbulkan problem interpretatif karena berita yang disampaikan jurnalis bukan merupakan perbuatan pribadi yang menyerang kehormatan, melainkan bentuk penyampaian informasi yang memiliki kepentingan sosial. Analisis sosiologis menunjukkan bahwa penerapan pasal ini terhadap jurnalis menunjukkan ketidakseimbangan antara hukum positif dan realitas sosial yang berkembang..[20]
Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan perluasan dari delik pencemaran nama baik dengan menambahkan unsur tuduhan palsu. Pasal ini memperberat ancaman pidana apabila pelaku tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya. Dalam praktik jurnalistik, ketentuan ini sering menimbulkan persoalan karena tidak semua informasi dapat segera diverifikasi secara menyeluruh saat berita disiarkan.[21]
Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu hukum empiris berupaya memahami bagaimana norma hukum bekerja dalam realitas sosial, bukan sekadar menelaah teks undang-undang secara normatif. Pendekatan ini memindahkan fokus dari law in books menjadi law in action, dengan menelusuri bagaimana aparat penegak hukum, jurnalis, pelapor, dan publik saling berinteraksi dalam praktik hukum yang melibatkan pasal-pasal penghinaan dan ujaran kebencian. Dalam konteks implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perspektif ini menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap insan pers tidak hanya bersumber dari redaksi pasal yang multitafsir, tetapi juga dari relasi kekuasaan dan budaya hukum yang cenderung menempatkan kebebasan pers sebagai ancaman terhadap stabilitas negara. Banyak studi empiris menunjukkan bahwa aparat sering menggunakan pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik secara tidak proporsional terhadap jurnalis yang melakukan kritik publik. Fenomena ini menggambarkan bahwa hukum sering kali dijadikan alat kontrol sosial vertikal daripada alat perlindungan hak asasi. Oleh sebab itu, sosiologi hukum membantu mengurai akar ketegangan antara perlindungan kehormatan individu dan hak publik atas informasi dengan menelusuri bagaimana norma, struktur kekuasaan, dan nilai sosial berinteraksi dalam penegakan hukum terhadap media.[22]
Kajian sosiologi hukum juga memperlihatkan bahwa praktik penegakan hukum sering kali dipengaruhi oleh budaya hukum, kapasitas institusional, dan diskresi aparat yang luas. Penyidik dan penuntut umum memiliki keleluasaan dalam menafsirkan apakah suatu pemberitaan memenuhi unsur delik penghinaan atau ujaran kebencian, dan diskresi ini sering digunakan secara bias terhadap kepentingan kekuasaan. Ketika asas lex specialis derogat legi generali tidak dijalankan secara konsisten, maka terjadi tumpang tindih antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berujung pada ketidakpastian hukum bagi insan pers. Analisis sosiologi hukum membantu menjelaskan mengapa aparat lebih memilih jalur pidana dibandingkan mekanisme etik seperti hak jawab atau mediasi Dewan Pers. Hal ini mencerminkan orientasi budaya hukum yang masih menitikberatkan pada pendekatan koersif, bukan restoratif. Dalam pandangan Durkheim, kondisi ini menandakan adanya disfungsi hukum, di mana hukum pidana yang seharusnya menjaga solidaritas sosial justru menimbulkan ketegangan dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum itu sendiri. Oleh karena itu, pembenahan tidak cukup melalui revisi pasal, tetapi juga melalui rekonstruksi cara pandang dan perilaku hukum para aktor penegak hukum.[23]
Pendekatan sosiologi hukum menawarkan solusi berbasis empirik dan struktural terhadap problematika kriminalisasi pers. Upaya ini mencakup penguatan mekanisme nonpidana seperti hak jawab, koreksi, dan mediasi yang dikelola Dewan Pers sebelum ditempuh jalur pidana, serta peningkatan kapasitas aparat agar memahami prinsip kerja jurnalistik yang menjunjung kepentingan publik. Selain itu, reformulasi pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu dilakukan untuk memperjelas unsur delik, membatasi tafsir yang ambigu, dan memastikan penerapan asas proporsionalitas dalam setiap penindakan. Dengan demikian, hukum tidak lagi menjadi alat represi, melainkan instrumen keseimbangan antara hak atas kehormatan dan hak atas kebebasan berekspresi. Dalam kerangka sosiologi hukum, reformasi ini berarti memperkuat legal consciousness masyarakat dan aparatur agar lebih sensitif terhadap nilai-nilai demokrasi, kebebasan informasi, serta perlindungan terhadap fungsi kontrol sosial pers. Ketika prinsip tersebut ditegakkan, maka hukum tidak hanya menciptakan kepastian, tetapi juga keadilan substantif yang menegaskan bahwa kebebasan pers merupakan bagian integral dari sistem sosial yang sehat dan demokratis.[24]
Penelitian ini menunjukkan bahwa analisis pemidanaan terhadap insan pers melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak cukup hanya dilakukan secara normatif-doktrinal, melainkan harus dikaji pula secara empiris melalui telaah praktik penegakan hukumnya. Pendekatan ini menilai sejauh mana penerapan pasal-pasal, seperti Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE serta Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, benar-benar memenuhi unsur delik atau justru merupakan bentuk penyalahgunaan hukum terhadap kebebasan pers. Dengan metode triangulasi yang memadukan analisis teks hukum, studi kasus, dan wawancara aktor penegak hukum serta insan media, sosiologi hukum membantu mengungkap dinamika kekuasaan, budaya hukum, dan ketimpangan institusional yang seringkali menyebabkan perbedaan antara law in books dan law in action. Melalui cara pandang ini, penelitian dapat mengidentifikasi titik lemah dalam praktik hukum yang kerap menjadikan media dan jurnalis sebagai objek kriminalisasi, bukan subjek pelaksana fungsi kontrol sosial.
Selanjutnya, untuk menjawab isu perlindungan terhadap insan pers atas kriminalisasi produk jurnalistik, sosiologi hukum merekomendasikan reformasi berlapis yang menitikberatkan pada mekanisme nonpidana seperti hak jawab, mediasi Dewan Pers, serta penyusunan pedoman penegakan hukum yang selaras dengan etika jurnalistik. Perlindungan substantif perlu ditopang oleh peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami standar profesi pers, serta harmonisasi regulasi agar asas lex specialis derogat legi generali diterapkan secara konsisten sehingga UU Pers menjadi rujukan utama dalam setiap perkara terkait pemberitaan. Perspektif sosiologi hukum menegaskan bahwa penyelesaian problematika ini tidak cukup melalui revisi undang-undang semata, melainkan juga melalui pembenahan struktur sosial, budaya hukum, dan kesadaran publik tentang pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan nama baik. Dengan demikian, hasil analisis ini berkontribusi pada pembentukan sistem hukum yang lebih adil, proporsional, dan responsif terhadap dinamika masyarakat demokratis.
SUMMARY / KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan mengenai “Problematika Kebebasan Pers: Analisis Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Perspektif Sosiologi Hukum”, dapat disimpulkan bahwa praktik penerapan hukum terhadap insan pers di Indonesia masih diwarnai ketegangan antara norma kebebasan berekspresi dengan perlindungan kehormatan individu. Melalui perspektif sosiologi hukum, terlihat bahwa persoalan utama bukan hanya terletak pada redaksi pasal-pasal seperti Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE atau Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, tetapi juga pada cara hukum tersebut dijalankan oleh aparat penegak hukum yang seringkali menggunakan instrumen pidana sebagai alat tekanan terhadap kebebasan pers. Sosiologi hukum menjelaskan bahwa perbedaan antara law in books dan law in action menimbulkan praktik penegakan hukum yang cenderung represif, terutama ketika pengaduan dilakukan oleh pihak-pihak berpengaruh. Dengan demikian, implementasi UU ITE dan KUHP perlu dievaluasi tidak hanya dari sisi normatif, tetapi juga dari sisi sosial, politik, dan budaya hukum yang memengaruhi pola kriminalisasi terhadap jurnalis dan media.
Saran
Sebagai langkah konkret, penelitian ini merekomendasikan perlunya reformasi kebijakan hukum yang lebih humanis dan proporsional terhadap insan pers. Pertama, diperlukan penguatan peran Dewan Pers sebagai lembaga mediasi utama sebelum perkara jurnalistik dapat diproses secara pidana, agar asas ultimum remedium benar-benar diterapkan. Kedua, aparat penegak hukum perlu mendapatkan pelatihan intensif tentang standar dan kode etik jurnalistik untuk mencegah kesalahan tafsir terhadap praktik pemberitaan. Ketiga, pembuat kebijakan disarankan untuk meninjau ulang pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE dan KUHP agar unsur subjektif seperti niat mencemarkan nama baik atau menyebar kebencian dapat diperjelas dan dipersempit. Terakhir, dari perspektif sosiologi hukum, perlindungan terhadap kebebasan pers juga harus disertai dengan peningkatan literasi hukum dan etika publik agar keseimbangan antara hak berekspresi dan tanggung jawab sosial media dapat tercapai dalam kerangka negara hukum yang demokratis.***
*) Penulis adalah : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung
Artikel ini dipublish untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih Gelar Sarjana Hukum
REFERENCE / DAFTAR PUSTAKA [Times New Roman, 12 bold, space 1.5]
Buku
Budiardjo, M. (2019). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, H. (2020). Sosiologi Hukum: Suatu Pengantar Kajian Hukum dalam Konteks Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Nasution, A. (2022). Hukum dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Hukum dalam Analisis Implementasi Kebijakan. Jakarta: Rajawali Pers.
Soekanto, S. (2018). Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Artikel Jurnal
Bakhri, S. (2021). Kebebasan pers dan tanggung jawab hukum dalam perspektif demokrasi di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 51(3), 423–442.
Dewi, L. P. (2022). Kriminalisasi jurnalis dalam implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia. Jurnal Komunikasi Hukum, 8(1), 12–29. https://doi.org/10.29313/komhukum.v8i1.9456
Hidayat, A., & Prasetyo, D. (2021). Tumpang tindih regulasi antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap delik pencemaran nama baik di Indonesia. Jurnal Yustisia, 9(2), 201–218. https://doi.org/10.25041/yustisia.v9i2.937
Khoir, S., Du, J. T., Davison, R. M., & Koronios, A. (2017). Contributing to social capital: An investigation of Asian immigrants’ use of public library services. Library & Information Science Research, 39(1), 34–45.
Lubis, M. (2020). Etika jurnalistik dan perlindungan hukum terhadap kebebasan pers di era digital. Jurnal Ilmu Komunikasi dan Hukum, 6(3), 189–205.
[1] Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251.
[2] Nurul Huda, “Kebebasan Pers dan Multitafsir Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang ITE,” Jurnal Hukum dan Komunikasi Publik, Vol. 5, No. 2, 2020, hlm. 145.
[3] Siti Rohmah, “Penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP terhadap Insan Pers,” Jurnal Ilmu Hukum dan Etika Media, Vol. 4, No. 1, 2021, hlm. 56
[4] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum: Suatu Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2019, hlm. 13.
[5] Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, New Brunswick: Transaction Publishers, 2001, hlm. 73
[6] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 24.
[7] Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, New Haven: Yale University Press, 1954, hlm. 93.
[8] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kebebasan Pers di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2020, hlm. 132.
[9] Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975, hlm. 15.
[10] Dicey, A.V. (1959). Introduction to the Study of the Law of the Constitution. London: Macmillan & Co.
[11] Mill, John Stuart. (1859). On Liberty. London: Parker & Son.
[12] Rahardjo, Satjipto. (2009). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jakarta: Kompas
[13] Kovach, Bill & Rosentiel, Tom. (2007). The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. New York: Three Rivers Press.
[14] Asshiddiqie, Jimly. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
[15] Shinta Agustina, “Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana,” Masalah-Masalah Hukum 44, no. 4 (2015): 503-10.
[16] Priska Mei Nur Fardila and Hanin Alya’ Labibah, “Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Berkaitan Dengan Kejahatan Judi Online,” Justitiable – Jurnal Hukum 7, no. 1 (2024): 157-72.
[17] Yonathan Aryadi Wicaksana, “Dualisme Pemaknaan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali,” Verstek: Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 3 (2021): 243-58.
[18] Muhammad, A. (2021). “Kebebasan Pers dan Kriminalisasi Digital: Analisis Penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE terhadap Jurnalis.” Jurnal Hukum dan Masyarakat, Vol. 8, No. 2, hlm. 145–163.
[19] Simanjuntak, R. (2022). “Ujaran Kebencian dan Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Demokrasi Konstitusional.” Jurnal Konstitusi dan Hukum Media, Vol. 10, No. 1, hlm. 77–94.
[20] Wibowo, T. (2023). “Penerapan Pasal Pencemaran Nama Baik terhadap Insan Pers: Tinjauan Sosiologi Hukum.” Jurnal Ilmu Hukum dan Sosial, Vol. 11, No. 2, hlm. 188–207.
[21] Nasution, D. (2021). “Kebenaran dan Pembuktian dalam Delik Pencemaran Nama Baik: Analisis terhadap Praktik Jurnalisme Investigatif.” Jurnal Etika dan Hukum Media, Vol. 9, No. 3, hlm. 245–263
[22] Hidayat, R. (2021). “Kriminalisasi Jurnalis dan Dinamika Penerapan UU ITE: Tinjauan Sosiologi Hukum.” Jurnal Hukum dan Komunikasi Sosial, Vol. 9, No. 2, hlm. 134–156.
[23] Suryana, D. (2022). “Budaya Hukum dan Ketimpangan Kekuasaan dalam Penegakan UU ITE terhadap Media.” Jurnal Kajian Sosiologi Hukum, Vol. 11, No. 1, hlm. 45–68.
[24] Pramudito, L. (2023). “Reformasi Hukum Media dalam Perspektif Sosiologi Hukum: Membangun Kebebasan Pers yang Berkeadilan.” Jurnal Demokrasi dan Hukum Progresif, Vol. 12, No. 3, hlm. 201–225.



























