Karakter Pantura, Lebaran Adalah Pesta
oleh: Ayad
Semangat siar Islam yang gencar dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Indramayu telah menjadikan perayaan Idul Fitri semakin meriah saja setiap tahunnya, terutama pada malam takbiran. Siar yang mungkin pada mulanya bertujuan menegaskan nuansa keislaman pada wajah masarakat Indramayu, diakui atau tidak, bertalian dengan salah satu visi mewujudkan masarakat Indramayu yang religius ini, pada kenyataannya menunjukkan karakter masarakat pantura yang haus akan hiburan.
Dimulai dari pusatnya yaitu pendopo Indramayu, setiap malam lebaran, seperti juga pada malam takbiran tahun 2017 ini, Sabtu malam 24 Juni 2017, digelar pertunjukan musik dan tari, bahkan kembang api menghiasi langit di atas halaman pendopo dan alun-alun kota. Perhelatan itu menandai dimulainya pawai takbir yang melibatkan seribu orang. Pawai itu pun lebih mirip karnaval. Jadilah malam takbiran di halaman pendopo seolah sebagai penanda dimulainya pesta lebaran tiba.
Ruh pesta atau suka cita merayakan lebaran, seperti juga pada malam-malam ramadan, ditunjukkan oleh banyak warga Indramayu melalui Obrog. Hiburan khas pantura sebagaimana dengan musik dangdut organ tunggal atau dangdut tarling pantura yang telah menjadi penanda budaya, obrog yang merupakan pertunjukan hiburan rakyat dengan bermacam tampilannya menghiasi ‘musim’ lebaran di hampir setiap kampung di Indramayu.
Mulai dari organ tunggal yang diarak menggunakan odong-odong keliling kampung sampai penampilan karakter antagonis sandiwara seperti buta atau raksasa, telah menjadi semacam tradisi bagi masarakat Indramayu dalam merayakan lebaran. Tentu saja ditingkahi bunyi petasan di sana-sini. Nuansa perayaan tersebut berlangsung sejak malam lebaran hingga beberapa hari sesudah Idul Fitri 1 Sawal Hijriyah. ‘Tradisi’ ini bahkan dengan semangat siar yang ditunjukkan pemkab Indramayu menjadi gayung bersambut.
Di beberapa desa dan kecamatan, dimotori oleh kepala desa (kuwu) dan camat, seperti di Desa Krasak Kecamatan Jatibarang dan suatu perhelatan pada tingkat Kecamatan Anjatan, semangat pesta lebaran itu tumpah dalam karnaval yang ditonton dan dinikmati ribuan orang.
Di Desa Krasak, beragam replika dan lampion berbentuk aneka kreasi dari warga, tak ketinggalan kelompok-kelompok pemuda yang ber-joget diiringi musik dangdut pantura menyemarakan ‘tradisi’ sawalan pada malam hari ketiga lebaran. Demikian pula di Anjatan. bermacam replika hewan semisal kalajengking, gajah, kuda, bahkan tengkorak dan genderuwo dengan ukuran cukup besar menjadi bagian yang paling dinikmati oleh masarakat setempat dalam acara yang diberi tajuk Festival Takbir Keliling.
Semua kemeriahan itu barangkali menunjukkan karakter budaya masarakat Indramayu. Karakter ini dengan segala kebiasaan masarakatnya bukan hanya menjadi milik orang atau wong Indramayu, tetapi telah menjadi produk budaya pantura. Selama berpuluh tahun masarakat Indramayu memproduksi ‘tradisi’ yang kemudian menjadi penanda budaya pantura.
Muncul istilah seperti “Dangdut Pantura” yang notabene merupakan perkembangan atau evolusi tarling Dermayon-Cerbon atau “Sawer’ dan sebagainya, termasuk yang dipandang negatif seperti “warung wedang” yang perkembangannya menjadi “warung remang”, kesemuanya itu dihasilkan oleh masarakat Indramayu.
Ciri yang cukup dominan dari banyak kebiasaan atau sebut saja karakter pantura tersebut adalah semangat hura-hura. Selalu saja ada pesta dalam setiap kenduri masarakat Indramayu atau pantura, mulai dari pesta hajatan sunatan atau pernikahan sampai pada tingkat sukuran panen atau dimulainya masa tanam maupun sukuran laut bahkan hingga ke peringatan terhadap leluhur. Masarakat pantura mengenal nadran, mapag sri, sedekah bumi, unjungan, ngarot dan sebagainya. Di dalamnya, di balik ritual dan segala prosesi, ada pesta, ada berbagai pertunjukan rakyat, ada pasar malam, ada kemeriahan.
Maka apabila Idul Fitri yang digemborgemborkan sebagai hari kemenangan, dengan kembali menjadi fitri atau kembali suci dari dosa, suatu metamorfosis spiritual melalui proses puasa, maka secara penghayatan intrinsik Idul Fitri merupayakan perayaan batin. Suatu perayaan yang menolak perayaan itu sendiri. Ibarat dalam pandangan sufi, cukup dirayakan oleh dirinya dengan tuhannya.
Dalam pandangan ini semangat pesta dalam merayakan lebaran menjadi sia-sia dan dinilai kontraproduktif. Namun dalam suatu budaya masarakat, jika lebaran dimaknai sebagai pesta yang wajib dirayakan dalam arti harafiah, mungkin tak ada salahnya juga, karena begitulah kenyataannya. Terbukti cara berlebaran ala masarakat pantura membuat hari hari lebaran di kampung menjadi lebih hidup. Secara positif, semua ‘tradisi’ itu mencerminkan semangat hidup dan vitalitas masarakat pantura.