INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Air pasang menggenangi kawasan pemukiman pesisir Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tak pernah mengenal waktu dan situasi apapun. Warga setempat menyebutnya “rob besar”. Gelombang datang tiba-tiba, merayap ke pemukiman dan menelan rumah-rumah yang sudah rapuh. Bagi mereka, bencana ini bukan hal baru, tapi setiap kali datang, luka itu tetap terasa.
“Dulu di sini masih ada jalan, masih banyak rumah. Sekarang laut sudah sampai depan pintu,” kata Rasim (56), warga yang rumahnya nyaris rata dengan air. Ia hanya bisa menatap reruntuhan tembok dan perahu-perahu kecil yang tertambat di antara genangan.

Rob di Eretan Wetan bukan hanya soal naiknya air laut. Ia telah mengubah tatanan hidup masyarakat. Anak-anak harus melintasi jalan becek dan genangan air asin menuju sekolah. Nelayan kehilangan tempat menambatkan perahu. Sebagian warga bahkan sudah pindah ke tempat lain karena tak sanggup lagi menanggung kerugian setiap musim pasang.
Pemerintah Kabupaten Indramayu sebenarnya sudah berupaya meminta bantuan kepada pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR guna membangun tanggul penahan abrasi di beberapa titik. Namun, kondisi pantai yang panjang dan tekanan ombak yang kuat membuat perlindungan itu belum sepenuhnya terwujud. Di sisi lain, sebagian warga menilai penanganan yang dilakukan masih bersifat sementara.
“Kami sudah sering dengar akan dibangun tanggul permanen. Tapi sampai sekarang, belum ada yang benar-benar kokoh. Kalau rob besar datang, karung pasir pun hanyut,” ungkap Siti Maryam (42), warga lain yang kini menumpang di rumah kerabatnya di bagian yang lebih tinggi.
Kawasan pesisir Eretan Wetan sejatinya adalah salah satu sentra perikanan di Indramayu. Bahkan dahulu, muara eretan dijadikan penambatan tentara jepang. Namun dalam beberapa tahun terakhir, hasil tangkapan menurun. Banyak tambak udang dan bandeng tak lagi bisa diusahakan karena air laut kerap meluap, mencemari tambak dengan kadar garam tinggi.
Selain kerugian ekonomi, ancaman rob juga membawa dampak sosial. Warga kehilangan tempat tinggal, sebagian terpaksa hidup berpindah-pindah. Bantuan datang, tetapi seringkali hanya cukup untuk kebutuhan sementara.
“Yang kami butuhkan bukan hanya bantuan makanan, tapi kepastian tempat tinggal. Kami ingin hidup tenang tanpa takut air laut masuk lagi,” ujar Rasim dengan nada getir.
Di tengah segala keterbatasan, warga Eretan Wetan terus bertahan. Mereka menambal tanggul seadanya, menumpuk karung pasir, dan menanam mangrove meski tahu hasilnya tak instan. Harapan sederhana mereka hanya satu: pemerintah benar-benar hadir, bukan sekadar datang saat berita bencana viral di media sosial.
Bencana rob di Eretan Wetan adalah peringatan bahwa perubahan iklim dan ketimpangan kebijakan pembangunan nyata adanya. Di sana, di antara genangan air asin dan rumah-rumah yang hilang, rakyat kecil masih berjuang mempertahankan satu-satunya yang tersisa tempat untuk pulang.
Apakah jeritan masyarakat Eretan Wetan selama ini belum cukup untuk meyakinkan para pemegang kebijakan agar bukan hanya turun menambatkan janji sebagai penghibur duka yang setiap saat dialami, ataukah ada secercah harapan kehidupan yang lebih layak untuk keadilan sosial bagi penikmat rob Eretan Wetan yang tak kunjung usang. Waalahu’alam, (Red/FP).


























