Banalitas Arogansi Kekuasaan dan Korupsi: Perilaku Sesat Dianggap Normal.

banner 120x600

 

Oleh ; Dr.H. Dudung Indra Ariska, SH, MH *)

LEDAKAN AKSI protes nasional atas nama keadilan yang mengguncang Indonesia di bulan  Agustus – September 2025, bukan an sich isu kebijakan kenaikan tunjangan rumah anggota DPR RI yang fantastis yang justru fasilitasi negara disaat rakyat berada pada posisi frustasi ekonomi (miserabilis status) dan kehilangan kepercayaan pada pemerintah (crise de confiance), tetapi lebih dari itu ada sejumlah masalah besar nasional yang terakumulasi dalam percikan api dan bahan bakar kemarahan publik terhadap banalitas arogansi kekuasaan dan korupsi yang makin terang-terangan serta merajalela.

Kasus-kasus besar seperti skandal Pertamina 2025, dengan kerugian hampir Rp968,5 triliun, kasus pagar laut yang terindikasi korupsi raib begitu saja dalam proses penyelidikan polri, skandal pengadaan cromebook di era kemendikdud  Ndiem Makarim dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp. `1,98 Triliyun dari total dana yang dianggarkan sebesar Rp. 9,3 Triliyun,  narapidana Silfester Matutina yang bebas melenggang diluar lapas serta sederet kasus besar  lainnya yang dibungkam oleh aparat penegak hukum atas nama kekuasaan,  semakin menguatkan persepsi publik bahwa praktik korupsi di negeri ini tidak lagi dipandang sebagai penyimpangan, melainkan sebagai hal yang biasa yang menyerupai tradisi. Prof. Yusril Ihza Mahendra menilai lemahnya regulasi antikorupsi memperburuk keadaan. “Kita masih ketinggalan dalam mengatur praktik seperti trading in influence atau illicit enrichment,”

Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara melemparkan kritikan bahwa pemerintah seolah lupa bahwa demonstrasi adalah hak konstitusional rakyat,  bukan ancaman. Menurutnya, “Ketika aspirasi rakyat diperlakukan sebagai gangguan ketertiban, itu pertanda demokrasi kita mengalami kemunduran,”

Dalam pandangan beberapa pakar, bahwa banalitas yang terjadi di negeri ini akan terus menggerus kepercayaan publik dan membuka ruang bagi lahirnya otoritarianisme baru. Ketua KPK Nawawi Pomolango, mengingatkan, “Tanpa penegakan hukum yang independen dan regulasi yang tegas, korupsi akan terus mengakar.”

Dalam perjalanan sejarah penegakan demokrasi Indonesia, meskipun gaung gerakan reformasi tahun 1998 sempat membarakan semangat perubahan ke arah perbaikan diseluruh aspek sistem tata kelola dalam bernegara, justru arogansi kekuasaan dan praktik korupsi perkembangannya makin merajalela dan terus mempertontonkan parodinya, bahkan pada kondisi saat ini telah menjadi banal,  dianggap lumrah,  diterima, dinormalisasi dengan rasa bangga oleh sebagian masyarakat dan elite kekuasaan. Padahal, banalitas telah membuat demokrasi di Indonesia terus merapuh, hukum kehilangan supermasinya dan kepercayaan publik terhadap institusi negara semakin tergerus. Dalam konteks banalitas kejahatan (the banality of evil)  refleksi moral dan nurani tidak dihadirkan, absen dan dimarjinalkan. Pelaku kejahatan tidak lagi mempertanyakan serta mempertimbangkan makna kata benar atau salah, karena kejahatan telah diposisikan menjadi bagian kehudupannya dan dianggap perilaku biasa serta rutinitas.

Banalitas  arogansi kekuasaan diantaranya dikelola dalam kebijakan dan tindakan  yang tidak mengindahkan aspirasi publik, mendayagunakan aparat negara sebagai alat represif semata serta latah menjustifikasi ketidakadilan dengan dalih hukum, prosedural dan stabilitas nasional. Contoh konkrit banalitas arogansi kekuasan salah satunya adalah respon brutal bagaimana aparat penegak hukum terhadap gelombang aksi protes nasional  agustus-septembet 2025. Ketika rakyat menyuarakan dan menuntut keadilan terhadap kenaikan tunjangan fantastis anggota DPR, yang dikedepankan justru tindakan represif, rentetan gas air mata, penangkapan, dan stigmatisasi demonstran.

Fenomena ini mengindikasikan kekuasaan telah melupakan bahwa kedaulatan itu sejatinya berada di tangan rakyat. Sedangkan dalam kontek banalitas korupsi yang dinormalisasi, tercermin dalam lingkar tradisi sesat dimana praktik korupsi dipahami sebagai kebiasaan atau pola perilaku koruptif yang berlangsung secara turun-temurun, berulang, dan dianggap “lumrah” baik dalam  lingkungan sosial, politik, maupun dalam birokrasi. Tradisi dimaksud dalam hal ini, adalah tradisi dalam kontek koruptif, yaitu  praktik pola hidup menyimpang yang diwariskan, dipelihara, dan dilegitimasi secara tidak langsung oleh struktur kekuasaan atau masyarakat.

Dalam praktiknya  ciri tradisi koruptif bersifat : 1. kebiasaan yang telah mengakar – korupsi dilakukan bukan lagi karena kebutuhan mendesak (corupption by the need), tetapi karena sudah menjadi bagian dari sistem atau pola kerja serakah (corupption by the greed). 2. Dilegitimasi secara sosial – pelaku koruptif maupun lingkungan sekitar sering menganggap korupsi sebagai hal yang “banal, wajar, lumrah, biasa dan normal”, misalnya dalam gratifikasi yang dibalut oleh pemberian “uang terima kasih, uang pelicin,  atau jatah proyek”. Imbasnya,  pejabat koruptif yang telah berstatus narapidana bisa tampil dengan senyum tanpa dosa di ruang publik. 3. Sulit diberantas tanpa perubahan budaya – karena sudah dianggap tradisi, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan hukum, tetapi memerlukan perubahan paradigma, nilai, dan mentalitas. 4.Menciptakan budaya patronase dan kolusi – praktik korupsi sering terhubung dengan nepotisme, loyalitas kelompok, dan jaringan yang saling melindungi. Dengan demikian, tradisi dalam praktik korupsi adalah proses pelembagaan perilaku koruptif hingga menjadi budaya yang sulit dipisahkan dari dinamika kekuasaan, birokrasi, dan kehidupan.

Banalitas arogansi kekuasaan dan korupsi seumpama racun yang menebarkan bisa sekaligus mengisap energi supremasi hukum dan kedaulatan demokrasi. Ketika ketidakadilan dianggap banal,  biasa dan hal yang normal, fungsi hukum hanya digunakan sebagai alat penguasa untuk memperkuat syahwat kepentingan, ambisi dan status quo.

Gelombang aksi protes  nasional yang mengusung tuntutan 17+8 yang masih terus berlangsung di tanah air Indonesia,  seharusnya menjadi alarm bagi penguasa serta direspon positif dengan tindakan konkrit secara profesional, proporsional, trasparan, akuntabilitas konstitusional.

Aksi protes nasional dengan tuntutan 17 + 8 jangan diartikan sekadar unjuk rasa jalanan, tetapi harus direspn sebagai lonceng peringatan keras bagi pemerintah dengan pemahaman  bahwa memang ada jurang ketidakpuasan yang makin curam. Rakyat turun ke jalan bukan untuk mencari gaduh, melainkan karena pintu aspirasi formal terlalu lama dibiarkan macet. Dalam situasi ini, respon positif pemerintah menjadi kunci: apakah akan tampil sebagai penguasa yang tuli, atau sebagai pemimpin yang mau mendengar.

Respon itu harus nyata, bukan basa-basi. Pemerintah mesti berani mengakui bahwa suara rakyat bukan hanya bagian dari denyut demokrasi,  bukan ancaman yang harus dibungkam, tetapi harus diposisikan sebagai hak konstitusional. Dialog terbuka harus segera digelar, dengan kesetaraan posisi antara penguasa dan pengunjuk rasa, serta hasil yang jelas—bukan janji kosong atau bukan hanya sebagai perban pembalut luka demokrasi. Dari dialog itu, pemerintah wajib menyusun peta jalan yang jelas dan  tegas: mana yang bisa ditindaklanjuti segera, mana yang butuh waktu, dan mana yang memerlukan pengkajian yang lebih mendalam.

Lebih dari itu, dalam mengawal aksi protes nasional, pemerintah harus menginstruksikan aparat agar menjunjung pendekatan humanis, bukan represif. Kekerasan hanya akan melahirkan luka baru, mempertebal ketidakpercayaan, dan menambah legitimasi gerakan perlawanan. Transparansi informasi wajib dijaga: rakyat berhak tahu sejauh mana tuntutan mereka ditangani.

Di level ini,  pelibatan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga independen suatu keniscayaan guna menggaransi bahwa  pemerintah tidak sedang mengatur narasi dan strategi penjinak bagi pelaku aksi protes, melainkan sungguh-sungguh menentukan peta jalan yang akan menjadi arah solusi serta menawarkan terwujudnya legitimasi demokrasi berkeadilan.

Red area yang harus diwaspadai  dan tidak  boleh dilanggar: jangan kriminalisasi aktivis. Mengubah aspirasi menjadi perkara hukum hanyalah jalan pintas otoritarian, yang pasti berujung semakin mempertebal krisis kepercayaan publik terhadap negara. Salah urus dalam menangani aksi protes nasional, pemerintah bukan alih-alih meredam gejolak, sebaliknya justru akan meruntuhkan wibawanya sebagai pengelola negara yang bijak, demokratis, dan berpihak pada rakyat.

Perlu diwaspadai oleh pengunjuk aksi protes nasional atas nama keadilan dalam upaya menghentikan banalitas arogansi kekuasaan dan korupsi, harus mampu mengurai dan menghindarkan diri dari upaya provokasi tamu-tamu tak diundang yang men: unggangi aksi protes organik, menjadi media kubu-kubu yang saling berbenturan kepentingan secara senyap (silent operation) demi syahwat kekuasaan,  kelompok perusuh yang terindikasi cipta kondisi menuju keadaan tertentu, para penjarah serta tamu asing non state yang fokus pada gerakan massa non kekerasan yang pada abad ke 21 pernah mengacak-acak banyak negara yang populer dengan revolusi warna atau (color revolution), yang mudusnya  dengan cara mengekaploitasi isu kepemimpinan tirani,  isu demokratisasi, ketidakadilan, banalitas arogansi kekuasaan dan korupsi.

Hati-hati lndonesia, terhadap tamu-tamu tidak diundang dalam kerumunan aksi protes nasional. Mereka membaur tanpa bendera, tapi langkahnya menyasar jalan-jalan persimpangan demokrasi. Mereka non state , namun bermain atas nama rakyat, menyelinap di celah hukum, meneguk kuasa dalam diam. Sunyi senyap geraknya, tapi gaduh akibatnya. Bukan revolusi yang mereka gaungkan, hanya kamuflase untuk menyamarkan ambisi. Seperti bayangan yang menolak cahaya, mengaku pejuang, tapi menukar nurani dengan agenda kepentingannya dan menyulap kekacauan menjadi mata uang.

*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana Ilmu hukum Universitas Wiralodra Indramayu

Mau copas berita, silahkan izin dulu
Mau copas berita, silahkan izin dulu