ISTILAH kata Ulem, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), adalah undang. Bahkan kata Ulem memiliki arti dalam kelas verba atau kata kerja yang menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya.
Ragam budaya dan tradisi bahkan ciri khas secara turun temurun, kata Ulem, masih digunakan oleh sebagian masyarakat Kabupaten Indramayu hampir di setiap Kecamatan yang hendak melangsungkan acara hajat baik berskala besar maupun kecil. Istilah Ulem atau undang – undang guna mengabarkan kepada saudara, family, teman kerabat dan seterusnya pada suatu acara hajat seperti khitanan anak, acara pernikahan, nujuh bulan, tahlilan, marhaban maupun acara sakral lainnya kerap digunakan istilah Ulem tersebut, metodenya adalah dengan menyuruh seseorang (Ulu – Ulu Jawa red) untuk mengabarkan sesuatu kepada alamat yang dituju agar dapat hadir pada acara yang akan diselenggarakan pemangku hajat.
Ulem – Ulem atau tradisi war war bukan hanya masih dilestarikan oleh halayak ramai (masyarakat red), tetapi hampir seluruh Pemerintah Desa(Pemdes) istilah ulem – ulem masih terus dilestarikan untuk mengabarkan persoalan terkini baik seputar acara adat desa, pengumuman kebijakan desa yang baru, termasuk adanya aktifitas kegiatan hajatan warga masyarakat. Bahkan pada era tahun 1902 hingga 1912 saat Bupati Indramayu ke 3 dijabat oleh Raden Sastro Wardoyo, Juru Ulem Desa (Ulu – Ulu red) dibekali alat pukul berupa Bareng sejenig Gong Kecil dalam istilah atas musik tradisional dikenalkan pertama kali sebagai barang inventaris Pemda saat itu, untuk 117 desa di 17 Kecamatan. Alat pukul Ulem yang terbuat dari perunggu tersebut wajib digunakan oleh Kepala Desa (Kuwu red) untuk mengabarkan segala bentuk informasi apapun kepada masyarakat. Namun sangat disayangkan, seiring perkembangan zaman, alat Bareng hanya dimiliki oleh desa desa tertentu yang usia desanya terbilang tua, kini para juru Ulem lebih banyak menggunakan pengeras suara seperti amplifier Toa untuk mengabarkan sesuatu informasi desa.
“Kami berharap diera Ibu Bupati Nina Agustina ini, sesuai dengan UU 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, alat Bareng bisa dihidupkan lagi meskipun dikolaborasi dengan teknologi pengeras suara, justru sangat membantu dan tidak menghilangkan nilai tradisi ya,” pinta Kasi Cagar Budaya dan Permuseuman Disbudpar Kabupaten Indramayu, Tinus Suprapto saat dihubungi awak media.
Pada era Pandemi Covid-19 , istilah ulem – ulem ini, sangat efektif dan sangat membantu pemerintah Kabupaten Indramayu, agar pesan pencegahan dan penanganan Covid-19 termasuk menyangkut sosialisasi 4 M yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan menghindari kerumunan cepat diterima informasinya oleh masyarakat desa secara luas.
Seperti yang dilakukan Juru Ulu, Carkiman atau yang dikenal populer Wa Kutil, warga Desa Wirakanan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, harus aktif mengabarkan informasi apapun yang diperintahkan kepala desa. Wa Kutil menyampaikan pesan Waspada Covid-19 dengan budaya menerapkan 4 M, keliling di jalan jalan desa, menggunakan sepeda motor dilengkapi alat pengeras suara.
Bupati Indramayu, Nina Agustina, mengaku terharu dengan semangat Wa Kutil, yang telah membantu mengabarkan kepada masyarakat luar di desanya. Tradisi Ulem yang merupakan warisan leluhur harus dapat terus dilestarikan di seluruh desa di Kabupaten Indramayu, meskipun teknologi saat ini sudah semakin canggih, tetapi tidak menghilangkan bahkan melunturkan nilai nilai budaya dan kearifan lokal di Kabupaten Indramayu yang harus terus diwujudkan, sebagai bagian dari capaian Visi Indramayu Bermartabat.
” Ini termasuk adat war war atau istilah bahasa jawa ulem – ulem budaya turun temurun yang masih dipakai oleh pemerintah desa hingga sekarang, kearifan lokal ini harus terus dikembangkan,” kata Nina dalam pesan singkat.