Aksi “Pemulangan” Bupati Indramayu, Antara Teater Politik dan Krisis Nalar Publik

banner 120x600
         Oleh: Masduki Duryat*)

BEBERAPA waktu terakhir, publik Indramayu dibuat heboh oleh aksi sekelompok orang yang menamakan diri Gerakan Rakyat Indramayu (GRI)—atau lebih tepatnya Gerakan Solihin dari Indramayu (GSI). Mereka menuntut Bupati Indramayu, Lucky Hakim, “dipulangkan” ke Cilacap dengan menyiapkan satu unit bus sebagai simbol perlawanan.

Gerakan ini dimotori oleh Solihin, yang nota-bene merupakan mantan anggota DPRD Indramayu. Dalam beberapa pemberitaan, aksi itu diklaim diikuti “ribuan massa.” Namun, kenyataannya di lapangan, hanya puluhan orang yang hadir.

Perbedaan besar antara klaim dan fakta ini memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam: politik simbolik yang miskin substansi. Dalam demokrasi, kritik kepada pemimpin tentu sah dan dijamin konstitusi. Namun, ketika kritik dibangun di atas asumsi, tuduhan tanpa data, dan simbolisme kosong seperti “bus pemulangan,” maka gerakan tersebut kehilangan nilai rasional dan edukatifnya.

Jika memang ada dugaan pelanggaran, jalur konstitusional tersedia— melalui DPRD, BPK, Ombudsman, atau aparat penegak hukum—Bukan dengan teatrikal jalanan yang seolah-olah bisa menurunkan kepala daerah hanya dengan orasi. Aksi semacam ini justru memperlihatkan kemunduran dalam cara sebagian elite lokal memahami demokrasi.

Sebagai mantan anggota legislatif, Solihin tentu tahu bahwa pengawasan terhadap kepala daerah memiliki mekanisme hukum yang jelas. Karena itu, tindakan memimpin aksi emosional tanpa data kuat terlihat lebih sebagai upaya mencari panggung politik pribadi daripada gerakan moral publik.

Indramayu hari ini memerlukan ruang kritik yang cerdas, beretika, dan berbasis data, bukan pertunjukan yang memperkeruh nalar masyarakat. Klaim “ribuan massa” padahal hanya puluhan peserta menunjukkan betapa mudahnya publik digiring oleh narasi yang tidak seimbang.

Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang rasional, bukan provokasi. Gerakan rakyat yang sejati lahir dari kejujuran intelektual, bukan dari dendam politik. Jika aksi semacam ini terus dibiarkan, maka rakyat Indramayu hanya akan menjadi penonton dalam drama politik yang dimainkan oleh segelintir elite yang gagal move on dari masa lalu.

 *)Penulis adalah Rektor Institut Studi Islam Al-Amin Indramayu dan Dosen Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Mau copas berita, silahkan izin dulu
Mau copas berita, silahkan izin dulu