INDRAMAYU, (Fokuspantura.com),- Perubahan status sarana ibadah, Mushola menjadi Masjid Jami Badrussalam di Desa Sukra Wetan Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang masih menimbulkan polemik, ditanggapi serius Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sukra, Nanang Sahroni.
Menurut Nanang, perubahan tempat ibadah dari mushola ke masjid yang terjadi di Desa Sukra Wetan, masih berdasarkan pada kearifan lokal, karena itu pihaknya akan menghadirkan Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Kabupaten Indramayu, guna melakukan klarifikasi keberlangsungan nadzir terhadap wakaf mushola atau masjid tersebut.
“Insya Allah dalam waktu dekat dari BWI Perwakilan Kabupaten Indramayu akan hadir di tempat ibadah tersebut,” kata Nanang Sahroni, di ruang kerjanya, Selasa, 11 Nopember 2025.
Nanang juga mengatakan, selain komunikasi dengan BWI, pihaknya juga selaku kepanjangan tangan dari Kementrian Agama, akan membantu proses legalitas masjid Badrussalam tersebut.
“Kami juga akan membantu proses legalitas Perubahan Muhola Badrussalam Sukra Wetan Menjadi Masjid,” ujarnya.
Terpisah, salah satu Praktisi Hukum yang juga tinggal di Desa Sukra Wetan, Mohammad Sholeh, SH, mengatakan, polemik yang terjadi pada perubahan mushola menjadi masjid tersebut, setelah didalami ternyata ada proses yang terlewatkan, sehingga menimbulkan kenyamanan beberapa pihak, dimana secara aturan yang merujuk pada undang – undang, perubahan peruntukan dari mushola ke yang lainnya harus ada ijin wakif (pemberi wakaf-red) dan ijin tersebut selaras dengan rapat atau musyawarah para pihak yang terdiri dari masyarakat sekitar yang terdampak dari kegiatan mushola atau masjid.
“Harus ada ijin wakif dan musyawarah para pihak terlebih dahulu, baik masyarakat ataupun jama’ah termasuk nadzir,” terangnya.
Untuk Nadzir, lanjut Sholeh, adalah orang diberi amanat oleh wakif untuk mengelolah wakaf, sedangkan DKM adalah yang mengelolah operasional mushola atau masjid, kemudian jika nadzir tersebut sudah meninggal maka harus dilakukan pemilihan untuk menentukan nadzir baru dan nadzir baru tersebut yang akan memutuskan arah pengelolaan wakaf yang tentunya sesuai dengan aspirasi masyarakat dan juga jama’ah, apakah tetap menjadi mushola atau masjid.
“Yang perlu dilakukan pertama pemilihan nadzir lalu kemudian nadzir menentukan arah pengelolaan wakaf yang tentunya sesuai dengan aspirasi jama’ah dan juga masyarakat, baru kemudian membentuk pengurus untuk operasional seperti DKM masjid ataupun mushola,” tandasnya.
Soleh juga menegaskan, peran KUA itu sendiri sebagai fasilitator untuk meneruskan dokumen yang masuk, baik ke BWI maupun BPN ketika ada perubahan dari nama – nama yang tercantum dan juga perubahan peruntukan dari wakaf seperti halnya dari mushola ke masjid, Karen itu harus segera dirembukan.
“Jadi emang harus rembuk, rembuk masyarakat, kumpulin semua stakeholder serta orang-orang yang secara langsung dan tidak langsung terlibat pada permasalahan tersebut,” tegasnya.
Sholeh menambahkan, sebelumnya sempet terdengar informasi dari masyarakat tentang pembentukan nadzir dan sempat disampaikan ke BWI tapi ditarik lagi karena dianggap figurnya oleh beberapa tokoh masyarakat kurang setuju terhadap nama – nama dari nadzir baru tersebut.
“Sepengetahuan saya untuk nadzir baru secara detil belum terbentuk,” pungkasnya.
Sementara, salah seorang warga Desa Sukra, Dayat, mengatakan, adanya perubahan mushola menjadi masjid menurutnya tidak ada masalah, sepanjang itu aman-aman saja.
“Saya aslinya Sukra kulon tapi lahir di blok mushola tersebut, untuk perubahan mushola menjadi masjid menurut saya aman-aman saja selagi itu tidak ada masalah,” ungkapnya. (Red/FP).



























