OpiniFokus RembuganPerkembangan Politik Indonesia di Tahun Pemilu

Perkembangan Politik Indonesia di Tahun Pemilu

 indria 2Oleh : Indria Samego *)

Siapa pun yang mengamati perkembangan politik Indonesia pasca orde baru, niscaya sepakat dengan judul tulisan di atas. Karena Pemilu sudah dinisbatkan sebagai “Pesta Demokrasi”, maka dia memiliki kedudukan khusus di mata pemilik kedaulatan kita, yakni rakyat dan para elitenya. Politik Indonesia di era Pasca Soeharto memang tak ada presedennya. Perubahan tanpa perencanaan atau perubahan demi perubahan – bukan untuk perbaikan (change to change) menjadi ciri utamanya. UUD 1945, untuk pertamakalinya diamandemen pada 2000 – 2002. Bukan hanya sekali hal itu dilakukan, melainkan empat kali. Kehidupan dan system kepartaian pun mengalami perubahan yang amat mendasar. Bila sebelumnya hanya dua partai (PPP dan PDI) dan satu golongan (Golkar) yang hidup dan diperbolehkan mengikuti enam kali pemilu yang tidak bebas (illiberal election), sejak reformasi politik digulirkan pada paruh akhir 1990an, jumlahnya tak terbatas. Setiap kali pemilu diselenggarakan, jumlah pesertanya selalu berubah-ubah. Bila dalam Pemilu 2014 jumlah pesertanya ada 12 partai politik, untuk Pemilu April 2019 nanti bertambah empat partai menjadi 16 partai politik. Ini, antara lain, disebabkan oleh terlalu mudahnya mendirikan partai politik, di satu pihak, dan akan diperolehnya berbagai keuntungan (politik, status social, pendapatan financial dan kesempatan jalan-jalan) apa bila menang dalam pemilu, di pihak lain.

Praktik pemilu pun mencerminkan prinsip-prinsip kontestasi dan partisipasi secara liberal. Bukan hanya anggota legislative yang dipilih, melainkan juga Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Walikota, semuanya harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Bahkan untuk Pemilu 2019, setelah diawali oleh sejumlah Pemilukada di sejumlah daerah, Bangsa Indonesia, pada 17 April 2019 mendatang akan menyelenggarakan Pemilu serempak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPD, DPR dan DPRD. Semuanya merupakan pengalaman baru dalam sejarah pemilu kita. Fenomena kader pindah partai – sering disebut sebagai “politisi kutu loncat”- menjadi pemandangan yang jamak terjadi. Pada sisi masyarakat, liberalisasi politik ditandai oleh adanya kebebasan berpartisipasi. Bila sebelumnya bentuk partisipasi dilembagakan dan dimobilisasi oleh kekuatan Negara atau quasi negara, sejak reformasi digelar muncul partisipasi masyarakat yang lebih independen dan otonom dalam berbagai aspek kehidupan. Ini ditandai oleh, di satu pihak, lahir dan berkembangnya “demokrasi dari bawah” dalam wujud beragam lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan kepentingan umum. Demokrasi dari bawah ini terasa lebih massif di era Digital sekarang. Hanya lewat membaca pesan di media social, public dapat secara mandiri menentukan sikap dan pilihan politiknya. Terlepas dari kualitas pesan yang dibacanya – apakah berita hoaks atau berita yang sebenarnya – semuanya diterima sesuai dengan tingkat edukasinya. Di pihak lain, masih muncul mobilisasi politik oleh kekutan tertentu yang mengatas-namakan demokrasi. Kemudian, kehidupan pers bebas juga sungguh-sungguh dirasakan setelah berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Di samping jumlah dan jenisnya yang kian banyak, peran pers menjadi kian sentral bukan hanya dalam pemberitaan, melainkan juga dalam pengawasan dan pendidikan masyarakat. Dalam perkembangan paling mutakhir, dinamika politik sangat didominasi oleh revolusi teknologi digital. Lewat berbagai macam produk, jenis teknologi informasi ini telah secara efektif menyampaikan pesan, baik yang bersifat mendidik maupun merusak lewat berita-berita hoax dan adu domba.

Ketika politik masih menjadi monopoli pemerintah, jelas, interpretasi dan solusi mengenai kesemua masalah tersebut dimiliki oleh para pemegang kekuasaan politik (political holder) yang notebene adalah perumus kebijakan, yang sekaligus merangkap pula sebagai pelaksana dan evaluator kebijakan. Di masa lalu, dengan slogan “development now” dan “politics later” tentu saja pemerintahlah yang paling absyah dan menentukan “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when and how)”[2]. Demi menjaga stabilitas politik, pemerintahlah yang memiliki legitimasi untuk mengendalikan bermacam sumberdaya yang mempengaruhi suhu politik. Sebagai agen pembangunan, pemerintah merasa memiliki hegemoni di dalam kehidupan yang menentukan dinamikanya. Siapa pun yang berkeinginan untuk ikut mewarnai kehidupan politik – baik dalam tataran praksis maupun wacana – harus dapat searif mungkin membaca tanda-tanda zaman kala itu. Jika “rumus politik” semacam ini tak dimiliki, atau sensitivitas politik hilang, maka siap-siap saja berurusan dengan aparat intelijen keamanan.

Artinya, di masa lalu, tidak ada ruang buat warga Negara untuk berbeda dengan kehendak atau paradigm pemerintah. Ruang public, dengan sendirinya sangat tertutup buat pengembangan partisipasi masyarakat secara otonom. Semuanya harus tunduk kepada norma dan politik yang hidup di zaman itu, yang notebene terlalu mengabdi kepada keamanan Negara, kesinambungan pembangunan dan kekuasaan. Meski banyak juga organisasi kemasyarakatan waktu itu, sifatnya tidak mandiri, melainkan tergantung kepada kebutuhan pemerintah. Baik struktur organisasi maupun program kerjanya, serta kepemimpinannya, harus mendapat restu pemerintah. Tidak terlalu keliru bila konsep Schmitter mengenai State Corporatism (Korporatisme Negara) layak digunakan untuk memberi label atas sifat organisasi dan wujud partisipasi masyarakat di bawah Rejim Orde Baru[3]. Bahkan, partai politik pun dibatasi jumlah dan kegiatan serta tokohnya. Semuanya dirancang untuk mendukung kepolitikan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang sangat mengutamakan stabilitas dan perubahan secara terencana (planned changes) – tetapi sesuai dengan selera penguasa saat itu. Dengan kata lain, kebebasan – baik dalam menyatakan pendapat maupun berkumpul dan berorganisasi yang sebetulnya dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945 – tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Oleh karena politik represif semacam itu, selama lebih dari tiga dasawarsa, Pemerintah Soeharto mampu mempertahankan kekuasaannya. Meski ada gejolak dari bawah yang berusaha mengkritiknya, dengan segala sumberdaya yang dimiliki Pemerintahan Orde Baru, pada akhirnya dapat menumpas berbagai pemikiran dan gerakan yang mengarah pada liberalisasi politik. Dengan penyeragaman pendekatan, dan ABRI serta uang sebagai tulang punggunya, Presiden Soeharto mampu menjadikan pemerintahnya sebagai “power house” yang secara efektif mengimplementasikan dan mengendalikan berbagai agenda Negara sebagaimana dipersepsikan oleh penguasanya. Dengan cara itu pula Presiden Soeharto beserta para pembantunya untuk sekian lama berhasil menegasi hasrat politik yang datangnya dari luar Negara. Dengan kata lain, kendati muncul aspirasi dari bawah, semuanya dapat dikanalisasi oleh Negara. Dengan sumber daya ekonomi dan politik yang dimilikinya, Negara mampu mengarahkan dan bahkan mematikan berbagai aspirasi public yang diperkirakan akan mengganggu perkembangan politik, yang note bene mengancam struktur kekuasaan yang dipimpin Presiden Soeharto tersebut.

Dengan menggunakan pendekatan semacam itulah Presiden Soeharto mampu mempertahankan kekuasaannya. Rewards and punishment atau stick and carrots sebagai pendekatan di dalam mengelola kehidupan politik, Presiden Soeharto dan para pembantunya telah berhasil mengarahkan jalannya pembangunan Orde Baru. Namun tak berarti bahwa Negara telah mampu mengatasi persolan politik yang sesungguhnya. Yang dapat dilakukan waktu itu hanyalah mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang boros sumberdaya alam dan membiarkan korupsi. Sepanjang tidak mengganggu “pembangunan” (baca: pertumbuhan ekonomi minus pemerataan), Pemerintah agak kurang peduli terhadap berbagai persoalan lain yang dianggapnya bersifat pinggiran (peripheral) bukan inti (core) pemerintahan.

Hal ini terbukti ketika kekuasaan Presiden Soeharto berakhir, Negara seolah kehilangan pegangan, dan sebaliknya dihadapkan pada kotak Pandora. Pada tataran teoritik, barangkali tidak terlalu sulit untuk membahasnya. Secara komparatif persoalan Religion and Politics, atau State and Religion atau Islam, mungkin sudah banyak yang membahasnya. Namun, mustahil hal itu dilakukan di masa Orde Baru. Padahal, ketiganya, “Partai, Demokrasi dan Islam” akan tetap menjadi inti pendewasaan – untuk tidak menyebut modernisasi – politik di Indonesia. Ketika pluralism – di satu pihak – menjadi modal dasar pembentukan Negara bangsa ini, namun uniformisme – di pihak lain -menjadi komitmen bernegara modern, mau tak mau, ketiganya tidak boleh disimpan “di balik karpet” layaknya kepolitikan era Presiden Soeharto. Sebaliknya, kita harus terus memutakhirkan secara kritis dan terbuka, dan menjadikannya sebagai wacana politik (political discourses) yang justru memperkuat semua elemen bangsa di dalam menjadikan Indonesia sebagai Negara modern yang sesungguhnya, bukan sekedar – meminjam istilah Ben Anderson – “imagine community”.[4] Oleh karenanya, ketika belakangan ada yang merekonstruksi kembali politik identitas berdasarkan agama, lebih khusus lagi adalah aliran, muncul kekhawatiran terhadap toleransi terhadap perbedaan keyakinan. Apalagi bila persoalan agama dan keyakinan itu dikapitalisasi demi kepentingan politik, maka perubahan politik yang kita lakukan selama ini kian jauh dari pembangunan politik. Dalam konstelasi politik yang penuh kontestasi semacam ini, hasil lebih penting dibanding proses.

Sisi Plus dan Minus dari Liberalisasi Politik

Belakangan, memang makin banyak suara kritis yang muncul dalam berbagai kesempatan. Baik pada acara terbuka maupun tertutup, suara-suara kritis itu makin nyaring terdengar. Semuanya diarahkan pada proses perubahan politik yang menandai Indonesia dalam 20 tahun terakhir. Kata sebagian dari mereka, “reformasi kita sudah kebablasen. Demokrasi hanya dijadikan alat sementara golongan untuk menjustifikasi kepentingannya. Bila usaha mereka sudah tercapai, politik yang dipraktikan tak berbeda dari yang digantikannya”.[5] Oleh karena makin banyak nada miring terhadap suasana di era transisi demokrasi ini, tak segan pula kelompok ini yang membawa-bawa gambar mantan Presiden Soeharto yang menyapa “Piye kabare…(apa kabar?), Jamanku luwih penak toh (Jaman saya lebih enak kan?)”

Namun, bagi penulis, berangkat dari sisi yuridis formal dan empiric politik, apa yang oleh Fukuyama disebut sebagai “Liberal Politics” sekarang, member banyak manfaat praktis. Pertama, apa yang oleh konstitusi kita diamanatkan bahwa “kebebasan menyatakan pendapat…”, mestinya harus dijadikan pegangan semua penyelenggara Negara. Apakah dia seorang sipil seperti Presiden Sukarno, atau militer seperti Presiden Soeharto, sudah seharusnya taat azas dan tunduk pada norma dasar tersebut. Jangan karena interpretasi kekuasaan, kemudian takut untuk menerapkannya. Kemudian, untuk mengimplementasikan ketakutan tersebut digunakan politik represif yang melahirkan ketakutan structural sepanjang penguasa tersebut memimpin. Politik memang terasa aman, namun bukan dikarenakan kesadaran warganegara, melainkan karena rasa takut yang berlebihan. Dalam suasana seperti ini, yang berkembang bukan pendewasaan politik dan pengembangan system, melainkan ketaatan personal dan berbagai rekayasa politik adu domba yang tidak mendidik.

Kedua, di era kebebasan seperti sekarang, negara akan memberikan ruang lebih longgar bagi pengembangan diri, kelompok maupun organisasi. Tiadanya mobilisasi, harus ditanggapi sebagai kesempatan untuk melakukan aktualisasi diri. Di jaman yang sangat kompetitif seperti sekarang, semuanya berusaha untuk hidup dan mendapat manfaat dari kehidupan yang dialaminya. Tidak terlalu keliru bila kemudian muncul berbagai improvisasi dan inovasi politik warga Negara di dalam menyikapi hidup ini. Dalam lingkungan kepartaian, misalnya, berkembang berbagai partai politik yang tidak bias diakomodasi ke dalam wadah-wadah ideologis atau aliran sebagaimana terjadi di masa lalu. Wajah parpol kita sungguh mencerminkan realita tantangan hidup semacam itu. Akibatnya, tidak terlalu mengherankan bila watak dasar partai dan tali perekatnya hanya bersifat simbolik saja, dan jarang tersentuh dalam kehidupan riil. Masalahnya, kebutuhan ruang hidup tadi yang makin hari makin sulit diperoleh. Apalagi masyarakat non politik kita makin banyak yang cerdas dan arif, parpol sekarang ditantang untuk dapat mempertahankan eksistensinya, di satu pihak, dan memenuhi harapan public, di pihak lain. Namun, semua itu lebih merupakan tantangan (threats) atau peluang (opportunities) dari pada masalah (problems).

Ketiga, secara empiric, kebebasan politik yang kita dapatkan juga sangat bermanfaat bagi pengembangan diri seluruh warga Negara. Bila di masa lalu, hanya penguasalah yang berhak menentukan artikulasi pemikiran dan aktualisasi diri, di era sekarang, lingkungan jauh lebih menentukan. Sejauh Negara mampu mengikutinya dengan berbagai aturan yang kontekstual, dan menerapkannya secara konsisten, kebebasan public akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas hidup seluruh warga negaranya. Sudah banyak Negara tua (old states) mempertontonkan kemajuan mereka yang didasarkan pada iklim politik yang demikian. Kecenderungan dalam kehidupan parpol akhir-akhir ini mendemonstrasikan keajegan daripada perubahan. Partai dianggap sebagai sarana mobilita vertical dan mengubah nasib. Tak terlalu mengherankan bila makin banyak politisi yang harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan alas an tingginya biaya politik, sejumlah politisi bermain-main dengan kekuasaan untuk menggangsir kesempatan yang bias diperoleh dari posisinya yang kian kuat di mata cabang kekuasaan Eksekutif.

Keempat, kalau pun ada kesan bahwa liberalisasi politik sekarang lebih banyak menimbulkan kegaduhan dan berbiaya mahal, rasanya ini masih wajar. Buat Negara sebesar Indonesia, setiap perubahan pasti membawa konsekuensi. Apalagi perubahan dari system otoriter menuju demokrasi, pasti mengakibatkan berbagai implikasi. Panjangnya sejarah otoriterianisme di negeri ini, boleh jadi telah melahirkan sejumlah besar pengikut dan “penikmatnya” tersendiri. Merekalah yang merasa tidak nyaman (resist) dengan format politik sekarang, karena, boleh jadi kecenderungan semacam ini telah menggusur kemapanan ekonomi dan politik yang selama ini dinikmatinya. Jumlah mereka tidak sedikit. Dan tragisnya lagi, para pemilik modal pun sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sebagai akibatnya, mereka menggunakan berbagai cara untuk mengecam dampak perubahan politik. Watak politik yang sudah terbiasa berkolusi, korupsi dan nepotisme semacam ini, hanya akan terpinggirkan bila negeri ini mengembangkan liberalisasi politik namun diiringi oleh perumusan hokum secara kontekstual dan teladan para pemimpin yang menghargai tumbuh dan berkembangnya norma bernegara secara modern.

Sementara dari sisi negative, terlalu mudah untuk mengecam dampak liberalisasi politik sekarang. Pertama, seperti sudah disinggung terdahulu, sekilas masa lalu memang terlihat lebih tenang dibandingkan dengan masa sekarang. Karena Negara terlalu kuat di hadapan masyarakat, Negara dengan sewenang-wenang menerapkan kebijakan represif. Masyarakat yang mencoba mengembangkan pemikiran alternative, akan dengan mudah diteror oleh mereka yang mengatasnamakan Negara. Karena semuanya terpusat pada Negara, maka dinamika dan gejolak politik yang berasal dari luar Negara, dengan mudah diredam. Korporatisme Negara menjadi alat yang efektif di dalam menghalau berbagai keinginan mengembangkan demokrasi dari bawah. ABRI menjadi alat efektif untuk melindungi paradigm bernegara semacam itu. Jangankan melawan Negara, sekedar mendirikan organisasi yang berbeda dari struktur yang ada pun sulit dilakukan. Gerakan buruh atau massa yang melawan Negara, mustahil dapat berkembang secara bebas. Ini jelas berbeda dengan sekarang. Di mana-mana seolah terlalu mudah untuk menimbulkan kekacauan: mulai dari soal upah buruh, konflik perbatasan antar desa, perbedaan keyakinan antar umat beragama sampai ke sengketa pemilihan pejabat public sering dilakukan dengan cara-cara yang anarkis.

Kedua, liberalisasi politik membutuhkan biaya yang tidak murah. Munculnya berbagai kreativitas, inovasi dan improvisasi di segala lapisan masyarakat dan golongan, seolah telah menjadi cirri dari liberalisasi politik. Semuanya merasa absah untuk melakukan apa saja. Demi demokrasi dan penghargaan atas hak azasi manusia, hokum – yang seharusnya final and binding – menjadi kian relatif. Sangat mudah ditafsirkan. Sebagai akibatnya, alat Negara dan hokum pun tidak efektif di dalam membina hubungan antara masyarakat dan Negara. Apalagi bila konflik yang dimunculkan membawa bendera etnis atau agama, niscaya, solusinya bukan hokum, melainkan pragmatis. Kesan semacam itulah yang terlihat dari perkembangan liberalisasi politik selama ini. Masuk akal pula bila belakangan muncul suara-suara yang agak miring terhadap masa depan demokratisasi di republic ini.

Oleh karena perbedaan kepentingan dan asumsi yang berbeda antara Paslon No. 01, Joko Widodo / KH Ma’ruf Amin dan lawannya, Paslon No. 02, Prabowo Subiyanto/ Sandiaga Solahuddin Uno, maka berlainan pula prediksi mereka mengenai Indonesia yang dekat ini. Yang disebut terdahulu memilih menggunakan istilah “optimist” dalam memimpin Indonesia. Sementara Paslon 02, melihat Indonesia dengan kritis dan cenderung pesimis.

Apa pun ramalannya dan siapa pun yang akan unggul dalam Pilpres mendatang, yang pasti mereka akan memimpin negeri yang besar, dengan kompleksitas persoalan yang tiada duanya di dunia ini. Dengan jumlah penduduk di atas 270 juta yang tersebar secara tidak merata di ratusan pulau besar dan kecil, serta kualitas SDM yang sangat ekstrim dari satu wilayah ke wilayah lainnya, masa recovery kita mustahil dapat berlangsung secara cepat dan aman. Jika ramalan matematis dapat dipercaya, maka semua masalah di atas akan dapat disisihkan bila Indonesia sungguh-sungguh menjadi salah satu dari lima bebsar kekuatan ekonomi dunia di tahun 2030an dan sesudahnya. Semoga

 *) Penulis adalah  Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Pertahanan RI, dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, serta Profesor di Program Pasca Sarjana Ilmu Politik, Universitas Riau (Unri) Pekanbaru. Senior Research Fellow The Habibie Center, Jakarta.

ads

Baca Juga
Related

Sugiono Optimis Lucky Hakim Masih Di Cintai Masyarakat Indramayu

INDRAMAYU, (Fokuspantura.com),- Perhelatan akbar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di...

Program Refocusing Kedelai 2017 Diduga Bermasalah

INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Target Pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian RI dalam...

DPW PKB Kawal Empat Bacabup Indramayu

INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Sekretaris DPW Partai Kebangkitan Bangsa(PKB) Propinsi Jawa Barat,...

Tim Bagana Indramayu Bantu Korban Banjir

SUKRA,(Fokuspantura.com),- Tim Banser Tanggap Bencana (Bagana) Kabupaten Indramayu, Jawa...
- Advertisement -

FokusUpdate

Popular

Mau copas berita, silahkan izin dulu
Mau copas berita, silahkan izin dulu