Fokus NewsNasionalAkreditasi RS Bukan Syarat Utama BPJS

Akreditasi RS Bukan Syarat Utama BPJS

JAKARTA,(Fokuspantura.com),- Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar menilai pemutusan kontrak karena aturan baru soal kewajiban akreditasi cuma akal-akalan. Ia menduga BPJS Kesehatan sedang menekan laju pengeluaran untuk pembayaran tagihan rumah sakit yang bikin keuangan mereka defisit. 

Lagi pula, kata Indra, jika dalihnya adalah aturan, mengapa sejak awal rumah sakit yang tak memiliki akreditasi tetap diperbolehkan bekerja sama. Ia mencontohkan, misalnya, RSUD Jati Padang yang sudah membuka layanan bagi pasien BPJS kendati baru berdiri pada 2017 dan belum terakreditasi.

“Kalau akreditasi, kan, sudah ada aturannya dalam Undang-undang rumah sakit, Undang-Undang Pelayanan Publik dan lain-lain, kenapa sekarang baru kencang,” ucapnya dilansir Tirto, kemarin.

Terpisah, Dirjen Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo mengakui akreditasi bukanlah syarat wajib untuk kerja sama rumah sakit dengan BPJS.

Kewajiban itu hanya ditekankan kembali agar rumah sakit yang belum terakreditasi berkomitmen untuk segera akreditasi dan memenuhi standar pelayanan seperti diamanatkan Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

“Jadi sebenarnya bukan wajib. Kami ingin mendorong mereka melakukan akreditasi untuk memastikan pelayanan kesehatan ke masyarakat sesuai dengan standar,” tutur Bambang dilansir Tirto.id.

Terkait sejumlah Rumah Sakit yang layanan BPJS-nya berhenti sementara, ia menyampaikan layanan kembali bisa diakses Sabtu (5/1/2019) kemarin berdasarkan rekomendasi yang sudah dikeluarkan Menkes. Namun, rumah sakit harus mengajukan surat komitmen mengikuti akreditasi.

“Kalau sudah ada komitmen, mereka bisa lanjutkan kerja samanya. Hari ini (Jumat malam),sepertinya sudah semua, insya Allah. Ada 156 rumah sakit yang membuat komitmen ke kami,” ungkapnya.

Sementara itu terkait defisit, Iqbal mengakui defisit masih terjadi meski pemerintah lewat Kementerian Keuangan sudah menggelontorkan dana Rp10,1 triliun pada 2018. Masalah ini terjadi karena pendapatan iuran dari peserta kesehatan yang tak sebanding dengan pembayaran manfaat.

“Itu dikarenakan setting hitungan iuran belum sesuai aktuaria. Tahun 2017 BPJS Kesehatan mendapatkan Rp74 triliun, biaya manfaat Rp84 triliun. Tahun 2016 juga tidak berimbang,” ujarnya.

Sebagai gambaran, iuran kelas 3 secara aktuaria seharusnya sebesar Rp53 ribu namun realisasinya hanya Rp 25,5 ribu, pun demikian dengan kelas 2 yang secara aktuaria harusnya Rp 63 ribu, tapi ditetapkan Rp51 ribu. Sementara yang relatif imbang terjadi pada kelas 1 yakni Rp 80 ribu.

Namun, BPJS Kesehatan tidak punya wewenang dalam penyesuaian iuran yang diharapkan sesuai aktuaria tersebut.

“Usulan terkait iuran bukan kewenangan BPJS Kesehatan. Itu domain DJSN,” ujar Iqbal. 

ads

Baca Juga
Related

Bawaslu Indramayu Klaim Data Real Time Hasil Pileg Belum Final

INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Menyikapi maraknya peredaran hasil perolehan suara hasil Pemilu...

DLH Klaim Ijin Lingkungan PLTU II Indramayu Sesuai Prosedur

INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Majelis Hakim PTUN Bandung melakukan  Peninjauan Setempat (PS)...

KNPI Midang Sore di Pendopo

INDRAMAYU, (Fokuspantura.com), - Midang sore adalah istilah dalam bahasa...

Terapkan P5BK SMKN 1 Sukra Gelar Bazar dan Aneka Lomba Tradisional

INDRAMAYU, (Fokuspantura.com),- Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Sukra...
- Advertisement -

FokusUpdate

Popular

Mau copas berita, silahkan izin dulu
Mau copas berita, silahkan izin dulu